Gambaran Psychological well-being pada Penderita Low Back Pain
KADEK PRAMITHA SARI
Fakultas
Psikologi Universitas Pancasila
Abstract
: Individual
suffering from low back pain has physiological and psychological change.
Individual psychological response having low
back pain is that individual becomes more sensitive, easily depressed,
tired, performs denial attitude, has insomnia, eating disorder, mood and
emotional disorders immobility such as withdrawing from his/her social
environment, being hopeless for recovery and estimates that the pain will take
a long time. Based on the matters above, the researcher is interested to see a
picture of psychological well-being on the sufferer of low back pain.
Dimensions of psychological well-being are self acceptance, positive relation with
others, environmental mastery, purpose in life and personal growth. The method
used in this study is using qualitative approach of case study by means of
observation and interview. Data obtained from this study are analyzed with triangulation technique.
The result of
this study shows that the appreciation of these both study subjects has purpose
in life, personal growth and good self-acceptance. Nevertheless both subjects
in this study has different in dimension autonomy,
enviromental mastery and positive relation with others.
Kata
kunci : psychological well-being,
nyeri dan low back pain.
PENDAHULUAN
Setiap
individu pernah mengalami nyeri dalam tingkatan tertentu. Nyeri merupakan
alasan yang paling umum individu mencari perawatan kesehatan, karena nyeri
sangat mengganggu dan menyulitkan aktivitas individu (Potter & Perry,
2005). Pengungkapan terhadap rasa nyeri bersifat sangat subjektif dan hanya
orang yang mengalami yang dapat mengungkapkan, menjelaskan dan mengevaluasi
perasaan tersebut (Mubarak & Chayatin, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP) nyeri adalah
perasaan subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan karena terkait dengan
kerusakan jaringan yang nyata, berpotensi rusak atau yang menggambarkan kondisi
adanya terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2005).
Menurut
penelitian Chronic Pain Association of Australia (2009), lebih dari 3,2
juta warga Australia yang menderita nyeri kronik. Nyeri tersebut kebanyakan
berasal dari nyeri sendi dan tulang belakang. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Jerman, terdapat sekitar 40% orang dewasa mengeluh nyeri punggung,
10% mengeluh nyeri pada kepala akibat migren dan sekitar 3% mengeluh sakit kepala
kronis. Jumlah penderita nyeri semakin meningkat mencapai sekitar 20 juta orang
dari tahun ke tahun (Dwiyono, 2004).
Dampak
nyeri akan semakin meningkat sesuai dengan usia dan letak nyeri itu sendiri (Harahap,
2007). Selain itu individu yang mengalami nyeri, kehilangan banyak jam kerja
untuk berobat dan beristirahat, dan kehilangan pekerjaan serta biaya konsultasi
dan perawatan yang cukup mahal seperti yang terjadi di Amerika Serikat.
Individu yang mengalami nyeri harus mengeluarkan dana sebesar $10.000 untuk
konsultasi dan perawatan nyeri (Stewart, 2003).
Secara
umum, ada dua kategori nyeri yaitu nyeri akut dan nyeri kronis (Brunner &
Suddarth, 2001). Nyeri akut
merupakan nyeri yang bersifat sementara, terjadi kurang dari enam bulan dan
letak nyeri dapat diidentifikasi. Sedangkan nyeri kronis, nyeri yang bertahan
lebih lama yaitu lebih dari enam bulan, sumber nyeri tidak dapat diidentifikasi
dan nyeri sulit untuk diobati maupun dihilangkan karena biasanya nyeri ini
tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya
(Morgan, Michail & Murray, 2006). Respons psikologis terhadap rasa nyeri
akut dan kronis itu berbeda. Respons psikologis pada nyeri akut berupa cemas,
tidak mampu konsentrasi, gelisah dan memiliki pandangan negatif, serta tetap
optimis nyeri akan hilang (Cohen dkk, 2001). Sedangkan respons psikologis terhadap
nyeri kronis berupa pandangan negatif, depresi, lelah, putus asa, mengalami
gangguan tidur, gangguan terhadap pola makan dan imobilitas atau inaktivitas
fisik seperti menarik diri dari lingkungan sosial, tidak ada harapan akan
kesembuhan, memperkirakan nyeri akan berlangsung lama (Smeltzer & Bare,
2002).
Menurut
US National Survey tahun 2002, sekitar 60-80% dari seluruh penduduk
dunia pernah mengalami paling tidak satu episode nyeri punggung atau pinggang
selama hidupnya. Kelompok studi nyeri (Pokdi nyeri) PORDOSSI (Persatuan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia) melakukan penelitian pada bulan Mei 2002 di 14 rumah
sakit pendidikan salah satunya yang dilakukan di Poliklinik Neurologi Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kejadian LBP sebesar 15,6% di seluruh kasus nyeri yang ditangani (Meliala, 2004).
Penelitian
yang dilakukan Picavet dan Schouten (2001) terhadap 8.000 sampel yang berumur
di atas 25 tahun ke atas, melaporkan nyeri yang paling banyak dialami oleh
individu yaitu 1)
LBP (22,2%); 2) bahu (15,1%); 3) leher (14,3%); 4) lutut (11,7%); 5)
pergelangan/tangan (9,3%); 6) punggung atas (7,4%); 7) pinggul (6,2%); 8) siku
(5,3%); 9) kaki (5,0%); 10) pergelangan kaki (3,5%).
Low Back Pain (LBP) adalah
nyeri yang berasal dari gangguan muskulosketelal (tulang belakang, otot, atau
saraf) yang disebabkan oleh aktivitas atau mobililasi yang salah (Caudil,
2004). Penyebab
timbulnya rasa sakit pada LBP adalah terjadinya tekanan pada saraf (saraf
terjepit) yang disebabkan oleh pekerjaan, posisi tubuh dan kecelakaan. Biasanya
nyeri baru dirasakan pertama kali ketika seseorang mengangkat beban yang berat,
posisi tubuh yang salah akibat tidur maupun duduk, dan akibat trauma atau
kecelakaan yang mengakibatkan penyempitan saraf yang dikenal dengan istilah herniated nucleus pulposus (Feske &
Greenberg, 2003).
Menurut
Childz (Schmidt dkk, 2006), efek nyeri yang disebabkan oleh LBP memiliki dampak
terhadap ekonomi (keuangan), sosial dan kesehatan yang semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Di Inggris misalnya pengobatan terhadap LBP pertahun menghabiskan
biaya sebesar 200 juta poundsterling
untuk konsultasi dan biaya pengobatannya (Nachemson dkk, 2000).
Respons
psikologis individu terhadap nyeri kronis terutama yang disebabkan oleh LBP
adalah individu menjadi lebih sensitif, lebih mudah depresi, lelah, melakukan
sikap penolakan atau menyangkal (denial),
mengalami gangguan tidur, mengalami gangguan terhadap pola makan, mengalami
gangguan suasana hati dan emosi, imobilitas seperti menarik diri dari
lingkungan sosialnya, tidak mempunyai harapan akan kesembuhannya dan
memperkirakan nyeri akan berlangsung lama (Radler, 2000). LBP memiliki dampak psikologis yang
negatif dan cukup besar mempengaruhi kehidupan individu dalam beraktivitas
sehari-hari. Individu yang mengalami LBP akan lebih mudah depresi, lelah dan
mobilitasnya menjadi terhambat (Radler, 2000). Dalam keadaan tersebut sangat
sulit bagi penderita LBP untuk dapat menerima dirinya karena keadaan dan
penanganan LBP ini dapat menimbulkan stress yang terus-menerus, sehingga tidak
hanya mempengaruhi penyesuaian fisik tapi juga kesejahteraan psikologis (psychological well-being) individu
(Lehmann, deLisa, Warren, deLateur, Bryant, &
Nicholson, 1978).
Menurut Ryff
(1989), kesejahteraan psikologis (psychological
well-being) merupakan
realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat menerima
segala kekurangan dan kelebihan dirinya (self
acceptance), mandiri (autonomy),
mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain (positive relation with others), dapat menguasai lingkungannya dalam
arti dapat memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya (enviromental mastery), memiliki tujuan
dalam hidup (purpose in life), serta
terus mengembangkan pribadinya (personal
growth).
Bila
dikaitkan dengan dimensi-dimensi psychological
well-being, individu yang mengalami nyeri kronis yang disebabkan oleh LBP,
membuat individu menjadi sangat sensitif, mudah depresi dan kurang puas
terhadap dirinya saat ini sehingga ia tidak mampu menerima kondisi yang terjadi
pada dirinya saat ini (self acceptance).
Setelah itu nyeri kronis dapat menjadikan individu kurang percaya diri dan
tidak mampu mengontrol suasana hati dan emosi baik yang disebabkan dari
internal maupun eksternal dirinya (enviromental
mastery) (Ryff, 1989). Kemudian individu kurang mampu memaknai arti dan
tujuan hidup (purpose in life), tidak
memiliki keyakinan dalam hidup untuk bisa sembuh, tidak dapat meningkatkan dan
mengembangkan diri (personal growth),
tidak mampu mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baik pada orang lain (positive relation with others) (Ryff
& Singer, 2006), sehingga menjadikan individu tersebut menarik diri dari
lingkungan sosialnya (Radler, 2000).
Nyeri
merupakan kondisi yang bersifat subjektif (Mubarak & Chayatin, 2007). Oleh
karena itu, peneliti ingin melihat bagaimana gambaran psychological well-being pada penderita LBP dengan menggunakan
metode kualitatif. Metode kualitatif adalah data yang dikumpulkan bukan berupa
angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan
lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya (Bogdan
& Taylor dalam Moleong, 2005). Tujuannya menggunakan pendekatan metode
kualitatif adalah peneliti ingin mendapatkan gambaran penghayatan individu
secara mendalam. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik
wawancara. Data yang diperoleh dianalisis melalui teknik triangulasi untuk
mengecek keabsahan data.
Rumusan Masalah
Perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran psychological
well-being pada penderita low back
pain.
Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan psikologi
khususnya psikologi kesehatan terutama yang berkaitan dengan psychological
well-being pada penderita low back
pain. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi masukan bagi penelitian yang
ingin melakukan penelitian terkait dengan psychological
well-being dan low back pain.
Manfaat Praktis
1.
Bagi
psiokolog
Bagi
psikolog, disarankan untuk menggunakan pendekatan konseling dan terapi yang
sesuai dengan kasus nyeri kronis pada individu yang mengalami low back pain dikarenakan nyeri yang
disebabkan oleh low back pain sangat
subjektif.
2. Bagi penderita low back pain
Penderita
low back pain, disarankan untuk tetap
melakukan terapi baik dari segi medis maupun psikologis walaupun intensitas
kambuhnya parah, sedang maupun ringan.
3.
Bagi
keluarga
Keluarga
disarankan untuk memberikan dukungan baik secara material maupun non material.
TINJAUAN PUSTAKA
Psychological well-being
Well-being
didefinisikan
sebagai derajat seberapa jauh seseorang dapat berfungsi secara optimal (Ryan
& Deci, 2001). Menurut Ryan dan Deci (2001), penelitian mengenai well-being
yang telah dilakukan selama ini didasarkan pada dua perspektif yang berbeda.
Perspektif yang pertama disebut pendekatan hedonik (hedonic approach),
sedangkan pendekatan lainnnya disebut pendekatan eudaimonik.
Eudaimonia
(kebahagiaan)
pertama kali dikenal melalui tulisan filsuf Aristoteles yang selanjutnya
dikenal dengan istilah psychological well-being. Aristoteles (dalam Ryff,1989)
menyatakan bahwa pengertian bahagia bukanlah diperoleh dengan jalan mengejar
kenikmatan dan menghindari rasa sakit, atau terpenuhinya segala kebutuhan
individu melainkan melalui tindakan nyata di mana individu mengaktualisasikan
potensi-potensinya. Hal inilah yang merupakan tugas dan tanggung jawab manusia
sehinga merekalah yang menentukan apakah menjadi individu yang merasa bahagia,
merasakan apakah hidupnya bermutu, berhasil atau gagal.
Penelitian
mengenai psychological well-being penting untuk dilakukan karena nilai
positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya membuat seseorang dapat
mengidentifikasi apa yang hilang dalam hidupnya (Ryff, 1995). Lawton (dalam
Keyes, 2003), mendefinisikan psychological well-being sebagai tingkat
evaluasi mengenai kompetensi dan diri seseorang, yang ditekankan pada hirarki
tujuan individu.
Menurut Ryff
(1989), psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh
dari potensi individu dimana individu dapat menerima segala kekurangan dan
kelebihan dirinya (self acceptance),
mandiri (autonomy), mampu membina
hubungan yang positif dengan orang lain (positive
relation with others), dapat menguasai lingkungannya dalam arti dapat
memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya (enviromental mastery), memiliki tujuan dalam hidup (purpose in life), serta terus
mengembangkan pribadinya (personal growth).
Psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan keseimbangan
antara afek positif dan afek negatif, namun juga melibatkan persepsi dari
keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup (Keyes, Shmotkin dan Ryff,
2002).
Psychological
well-being memiliki
enam dimensi, dimana masing-masing dimensi menjelaskan tantangan-tantangan yang
berbeda yang dihadapi individu untuk dapat berfungsi secara penuh dan positif
(Ryff, 1989a; Ryff & Singer, 2006; Ryff, dalam Keyes & Haidt, 2003).
Dimensi-dimensi tersebut adalah :
1. Penerimaan Diri
(Self Acceptance)
Dimensi
ini mendefinisikan individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik,
yang ditandai dengan sikap yang positif terhadap diri sendiri, mengetahui dan
menerima segala aspek yang ada pada dirinya, baik kelebihan maupun kekurangan,
serta memiliki sikap yang positif terhadap kehidupan di masa lalu. Sebaliknya,
individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik ditandai dengan
perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa terhadap apa yang terjadi di
masa lalu, terganggu dengan sifat-sifat tertentu yang dimiliki dan memiliki
keinginan tidak menjadi dirinya (Ryff, 1995).
2. Otonomi (Autonomy)
Dimensi
ini dideskripsikan dengan individu yang mampu menampilkan sikap kemandirian,
menolak pikiran dan tindakan yang tidak sesuai, melakukan regulasi dari
tindakan yang diambil, memiliki standar evaluasi terhadap diri sendiri.
Individu yang memiliki tingkatan otonomi yang baik ditunjukkan sebagai pribadi
yang mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku
dengan cara tertentu, mampu mengatur tingkah laku diri sendiri dan mengevaluasi
diri sendiri dengan standar pribadi. Sebaliknya, individu yang terlalu
memikirkan ekspektasi dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada orang lain
untuk mengambil suatu keputusan serta cenderung untuk bersikap konform terhadap
tekanan sosial, menandakan individu tersebut belum memiliki tingkat otonomi
yang baik (Ryff, 1995).
3. Hubungan Positif
dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)
Dimensi
ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan, saling percaya
dengan orang lain, peduli terhadap kesejahteraan orang lain, mampu menimbulkan
empati yang kuat, kasih sayang dan kedekatan, serta mengerti arti dalam memberi
dan menerima dalam hubungan sesama manusia (Ryff, 1995). Individu yang memiliki
hubungan positif yang baik dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan
yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian
terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang
dan keintiman serta memiliki konsep dalam memberi dan menerima dalam hubungan
sesama manusia. Sebaliknya, individu yang kurang mampu menjalin hubungan yang
positif dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, tidak terbuka dan
memberikan sedikit perhatian terhadap orang lain (Ryff, 1995).
4. Penguasaan
Lingkungan (Environmental Mastery)
Dimensi
ini ditandai dengan kemampuan individu untuk menguasai dan kemampuan dalam
mengatur lingkungan yang kompleks, menggunakan kesempatan yang ada secara
efektif, serta memilih atau membuat konteks yang pantas untuk kebutuhan dan
nilai-nilai pribadinya. Individu yang baik dalam dimensi ini, menunjukkan
kemampuan untuk memilih dan menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan
kebutuhan dan nilai-nilai pribadinya dan memanfaatkan secara maksimal
sumber-sumber peluang yang ada di lingkungan. Individu juga mampu mengembangkan
dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya,
individu yang kurang dapat menguasai lingkungannya akan mengalami kesulitan
mengatur kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau
meningkatkan apa yang ada diluar dirinya serta tidak menyadari peluang yang ada
di lingkungan (Ryff, 1995).
5. Tujuan Hidup (Purpose
in Life)
Dimensi
ini menekankan pentingnya memiliki tujuan hidup dan pentingnya keterarahan,
memahami arti hidup sekarang dan lalu, percaya dapat memberikan yang terbaik
dalam hidup serta memiliki tujuan dan bersikap objektif untuk hidup. Individu
yang memiliki tujuan hidup yang baik, memiliki target dan cita-cita serta
merasa bahwa baik kehidupan di masa lalu dan sekarang memiliki makna tertentu.
Individu tersebut juga memegang teguh kepercayaan tertentu yang dapat membuat
hidupnya lebih berarti. Sebaliknya, individu yang kurang memaknai hidup, tidak
memiliki tujuan dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu dan
kurang memiliki target dan cita-cita, menandakan bahwa individu tersebut kurang
memiliki dimensi tujuan hidup yang baik (Ryff, 1995).
6. Pertumbuhan Pribadi
(Personal Growth)
Dimensi
ini didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki individu, merasakan
perkembangan yang terjadi pada diri sendiri, serta keterbukaan terhadap
pengalaman-pengalaman baru, melihat kemajuan dalam hidup dan tingkah laku,
serta memilih jalan dari refleksi tentang pengetahuan dan tahu mana cara yang
lebih efektif. Individu yang baik dalam dimensi ini memiliki perasaan untuk
terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang terus tumbuh,
menyadari potensi-potensi yang dimiliki dan mampu melihat peningkatan dalam
diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, individu yang kurang
baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang yang stagnan,
kurang peningkatan dalam perilaku dari waktu ke waktu, merasa bosan dengan hidup
dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku yang baru (Ryff, 1995).
Beberapa
faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada individu, yaitu:
usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan budaya
tiap-tiap individu.
Nyeri
International Association for Study of
Pain
(IASP) mendefinisikan nyeri sebagai perasaan subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan karena terkait dengan kerusakan jaringan yang nyata, berpotensi
rusak atau yang menggambarkan kondisi adanya terjadi kerusakan (Potter &
Perry, 2005). Kerusakan nyata misalnya terjadi pada nyeri akibat luka operasi.
Berpotensi rusak misalnya pada nyeri dada karena penyakit jantung, dimana
timbul nyeri sebagai pertanda akan terjadi kerusakan atau berpotensi rusak pada
otot-otot jantung bila tidak ditangani secara benar (Price & Wilson, 2005).
Penyebab
nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu penyebab yang
berhubungan dengan fisik dan psikis (Luckmann & Sorensen, 1987). Secara
fisik misalnya, penyebab nyeri adalah trauma (baik trauma mekanik, termis,
kimiawi, maupun elektrik), peradangan, gangguan sirkulasi darah dan lain-lain.
Secara psikis, penyebab nyeri dapat terjadi oleh karena adanya trauma psikologis
(Luckmann & Sorensen, 1987).
Menurut
Brunner dan Suddarth (2001), ada dua kategori dari nyeri yaitu nyeri akut dan
nyeri kronis.
1. Nyeri Akut
Nyeri akut
merupakan nyeri yang bersifat sementara terjadi kurang dari enam bulan dan
letak nyeri dapat diidentifikasi. (Morgan, Michail & Murray, 2006). Contoh
nyeri yang masuk dalam kategori nyeri akut adalah nyeri akibat luka tergores,
nyeri pasca melahirkan dan nyeri pasca bedah (Rospond, 2008).
Secara
fisiologis, individu yang mengalami nyeri akut dan nyeri kronis mengalami
perubahan dalam fisiknya. Seperti terjadinya perubahan pada denyut jantung,
frekuensi nafas, tekanan darah, adanya tegangan pada otot, keringat pada
telapak tangan, dan perubahan ukuran pupil (Purwandari, 2008). Respons
psikologis pada nyeri akut berupa cemas, tidak mampu konsentrasi, gelisah,
memiliki pandangan negatif, tetapi tetap optimis nyeri akan hilang (Cohen dkk,
2001).
2. Nyeri Kronis
Nyeri kronis
adalah nyeri yang bertahan lebih lama yaitu lebih dari enam bulan, sumber nyeri
tidak dapat diidentifikasi dan nyeri sulit untuk diobati maupun dihilangkan
karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang
diarahkan pada penyebabnya (Morgan, Michail & Murray, 2006). Contoh nyeri
yang termasuk dalam kategori nyeri kronis yaitu nyeri pasca stroke, nyeri phantom (nyeri pada bagian tubuh yang
telah diamputasi), arthrits, low back
pain, dan osteoarthritis (Scheman, 2009).
Secara
fisiologis, baik nyeri akut maupun nyeri kronis mempengaruhi fisik individu,
seperti terjadinya perubahan pada denyut jantung, frekuensi nafas, tekanan
darah, adanya tegangan pada otot, keringat pada telapak tangan, dan perubahan
ukuran pupil (Purwandari, 2008). Respon psikologis terhadap nyeri kronis berupa
pandangan negatif, depresi, lelah, putus asa, mengalami gangguan tidur,
gangguan terhadap pola makan dan imobilitas atau inaktivitas fisik seperti
menarik diri dari lingkungan sosial, tidak ada harapan akan kesembuhan,
memperkirakan nyeri akan berlangsung lama (Smeltzer & Bare, 2002).
Nyeri merupakan suatu keadaan yang kompleks yang dipengaruhi oleh
faktor fisiologi, sosial, spiritual, psikologis, dan budaya. Setiap individu
mempunyai pengalaman yang berbeda tentang nyeri.
Low Back Pain
low back pain (LBP) atau nyeri punggung
bawah adalah suatu gejala dan bukan suatu diagnosis, dimana pada beberapa kasus
gejalanya sesuai dengan diagnosis patologisnya dengan ketepatan yang tinggi,
namun di sebagian besar kasus, diagnosis tidak pasti dan berlangsung lama.
Dengan demikian maka LBP yang timbulnya sementara dan hilang timbul adalah
sesuatu yang dianggap biasa. Namun bila LBP terjadi mendadak dan berat maka
akan membutuhkan pengobatan, walaupun pada sebagian besar kasus akan sembuh
dengan sendirinya. LBP yang sudah mencapai tahap kronis membutuhkan lebih
banyak perhatian, karena harus merubah pula cara hidup penderita dan bahkan
juga perubahan pekerjaan.
Low Back Pain (LBP) adalah
nyeri yang berasal dari gangguan muskulosketelal (tulang belakang, otot, atau
saraf) yang disebabkan oleh aktivitas atau mobililasi yang salah (Caudil,
2004).
LBP umumnya dikategorikan ke dalam akut, subakut, dan kronik.
Nyeri punggung bawah akut biasanya didefenisikan suatu periode nyeri kurang
dari 6 minggu, nyeri punggung bawah subakut adalah suatu periode nyeri antara
6-12 minggu dan nyeri punggung bawah kronik merupakan suatu periode nyeri lebih
dari 12 minggu (Van, 2006).
Penyebab
timbulnya rasa sakit pada LBP adalah terjadinya tekanan pada saraf (saraf
terjepit) yang disebabkan oleh pekerjaan, posisi tubuh dan kecelakaan. Biasanya
nyeri baru dirasakan pertama kali ketika seseorang mengangkat beban yang berat,
posisi tubuh yang salah akibat tidur maupun duduk, dan akibat trauma atau
kecelakaan yang mengakibatkan penyempitan syaraf yang dikenal dengan istilah herniated nucleus pulposus (Feske &
Greenberg, 2003).
Respon
psikologis individu terhadap nyeri kronis terutama yang disebabkan oleh LBP
individu menjadi lebih sensitif, lebih mudah depresi, lelah, melakukan sikap
penolakan atau menyangkal (denial),
mengalami gangguan tidur, mengalami gangguan terhadap pola makan, mengalami
gangguan suasana hati dan emosi, imobilitas seperti menarik diri dari
lingkungan sosialnya, tidak mempunyai harapan akan kesembuhannya dan
memperkirakan nyeri akan berlangsung lama (Radler, 2000).
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Pendekatan
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Artinya data
yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari
naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen
resmi lainnya (Bogdan & taylor dalam Moleong, 2005).
Penelitian
ini menggunakan metode studi kasus. Studi kasus dilakukan karena peneliti perlu
memahami suatu kasus, individu-individu tertentu atau situasi unik secara
mendalam (Poerwandari, 2005). Studi kasus ini dimaksudkan untuk melihat
gambaran psychological well-being
pada penderita low back pain. Hal ini
sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu untuk menggambarkan,
mendeskripsikan, memahami dan menganalisa psychological
well-being pada penderita low back
pain. Selain itu peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, dikarenakan
nyeri bersifat subjektif yang artinya nyeri tidak proporsional, nyeri membuat
individu menjadi tidak nyaman dan intensitas nyeri tiap-tiap individu berbeda
dalam menafsirkannya. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengolah data dari
hasil wawancara.
Subjek Penelitian
Metode Pengambilan Subjek
Subjek
dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Dengan metode ini peneliti tidak terfokus pada upaya mengidentifikasi masalah-masalah
mendasar, melainkan pada upaya menangkap variasi-variasi besar dalam
subjek atau obyek penelitian (Poerwandari, 2007). Purposive sampling merupakan
kelompok dari non-probability sampling.
Purposive sampling adalah
pendekatan dimana peneliti memiliki kriteria tertentu dan tidak mengambil
secara acak pada subjek yang akan dipilih (Poerwandari, 1998).
Pengambilan subjek disesuaikan dengan kriteria
tertentu, teori atau konstruk tertentu sesuai dengan tujuan penelitian, maka
karakteristik subjek penelitian dibatasi dalam beberapa hal. Subjek juga
disesuaikan dengan desain penelitian ini, kriteria subjek sesuai dengan
fenomena yang terjadi di lapangan. Hal ini bertujuan agar subjek memberikan
informasi yang terkait dengan penelitian, sehingga subjek perlu benar-benar representatif
terhadap peristiwa yang dipelajari (Patton, dalam Poerwandari, 1998).
Karakteristik Subjek
Karakteristik
subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Subjek
penelitian
Subjek dalam
penelitian ini adalah penderita yang mengalami low back pain.
2.
Memenuhi
kriteria diagnosis medis low back pain.
Peneliti
melihat rekam medis subjek untuk memastikan apakah subjek menderita low back pain atau tidak.
3.
Sudah
mengalami low back pain sejak 2 tahun
terakhir.
Penelitian ini
melibatkan subjek yang mengalami low back
pain minimal dua tahun. Hal ini dikarenakan rentang waktu dua tahun dapat
memungkinkan untuk melihat penghayatan terhadap nyeri dan psychological well-being.
Jumlah Subjek
Pada
penelitian dengan pendekatan kualitatif, tidak ada aturan pasti dalam jumlah
subjek yang harus diambil. Jumlah subjek sangat bergantung pada apa yang ingin
diketahui penulis, tujuan penelitian, konteks saat itu, apa yang dianggap
bermanfaat dan dapat dilakukan dalam waktu dan sumber daya yang tersedia
(Poerwandari, 1998). Menurut Taylor dan Bogdan (1998 dalam Moleong, 2000),
jumlah subjek dalam penelitian yang menggunakan wawancara seharusnya ditentukan
pada akhir penelitian dan bukan pada awal dilaksanakannya penelitian. Dalam
merencanakan jumlah subjek yang akan diambil peneliti mempertimbangkan bahwa
data bisa memadai tetapi tetap memperhitungkan faktor efisiensi. Pada awal
penelitian, direncanakan akan mengambil 2 subjek. Jumlah subjek dapat berubah
disesuaikan dengan apakah data yang diperoleh sudah memenuhi untuk menjawab
permasalahan penelitian.
Metode
Pengumpulan Data
Metode
dasar yang umumnya banyak dipergunakan dalam penelitian kualitatif adalah
wawancara dan observasi (Poerwandari, 1998). Dalam penelitian ini, metode
pengumpulan data utama yang akan digunakan adalah wawancara, dan sebagai metode
penunjang akan digunakan metode observasi.
Wawancara
Dalam
penelitian kualitatif, wawancara yang dilakukan yaitu berupa percakapan atau
tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara adalah
percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak yaitu
pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan tersebut (Moleong, 2005). Wawancara kualitatif
dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna
subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan
bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, yaitu suatu hal yang
tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk, 1994 dalam
Poerwandari, 2009).
Dalam
penelitian ini, akan digunakan metode wawancara dengan pedoman semi structured. Artinya
pertanyaan-pertanyaan bersifat terbuka namun ada batasan tema dan alur,
fleksibel tetapi terkontrol, ada pedoman wawancara yang menjadi patokan alur
wawancara, dan untuk memahami suatu fenomena atau masalah tertentu
(Herdiansyah, 2009). Sebelum wawancara ini dilaksanakan telah disusun pedoman
wawancara memuat pokok-pokok pertanyaan yang akan diajukan yaitu open-ended
question (pertanyaan-pertanyaan terbuka dan tertutup) yang bertujuan
menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari,
2009). Aspek yang ingin diungkap melalui wawancara dalam penelitian ini adalah
dari segi psychological well-being
yaitu penerimaan diri (self acceptance),
kemandirian (autonomy), hubungan
positif dengan orang lain (positive
relation with others), penguasaan lingkungan (enviromental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth).
Observasi
Selama
wawancara berlangsung, peneliti juga melakukan metode tambahan yaitu metode
observasi. Metode observasi dilakukan melalui pengamatan terhadap situasi dan
kondisi serta perilaku yang muncul saat dilakukan wawancara pada individu yang
mengalami low back pain. Selain itu
metode observasi dilakukan untuk melihat bagaimana interaksi individu yang
mengalami low back pain dengan orang
lain baik dari bersikap, cara merespons, cara berekspresi dan kebiasan-kebiasan
yang dilakukan selama wawancara berlangsung. Observasi adalah pengamatan dan
pencatatan sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi menjadi
alat bantu tambahan setelah wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data apabila
(a) sesuai dengan tujuan penelitian, (b) direncanakan dan dicatat secara
sistematis, (c) dapat dikontrol validitas dan reliabilitasnya (Silverman, 2004).
Observasi merupakan proses yang kompleks, yang tersusun dari proses biologis
dan psikologis. Dalam penggunaan teknik observasi yang terpenting adalah
mengandalkan pengamatan dan ingatan peneliti (Silverman, 2004).
Keuntungan
dari observasi adalah (a) sebagai alat langsung yang dapat meneliti gejala, (b)
observee yang selalu sibuk lebih
senang diteliti melalui observasi daripada diberi angket atau mengadakan
wawancara, (c) memungkinkan pencatatan serempak terhadap berbagai gejala,
karena dibantu oleh observer lain atau dibantu oleh alat lainnya, (d) tidak
tergantung pada self-report (Silverman, 2004).
Dalam
penelitian ini akan digunakan observasi non-partisipan, dimana peneliti tidak
terlibat dalam keseluruhan aktivitas yang dilakukan observee. Alasan mengapa peneliti memilih jenis observasi ini
adalah keterbatasan waktu peneliti untuk ikut secara langsung dalam keseluruhan
aktivitas yang dilakukan observee.
Alat Bantu Pengumpulan Data
Alat
bantu yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain adalah pedoman
wawancara, alat perekam dan lembar observasi.
Pedoman Wawancara
Penulis
telah mempersiapkan pedoman wawancara, yang terdiri dari dua bagian. Bagian
pertama adalah tentang data demografik. Bagian kedua berisi tentang gambaran psychological well-being.
Alat Perekam
Alat
perekam akan membantu peneliti dalam memperoleh data yang lengkap, sesuai dengan
apa yang disampaikan oleh subjek dalam wawancara. Alat perekam ini digunakan
setelah memperoleh ijin dari subjek sebelum wawancara dimulai.
Lembar Observasi
Penggunaan
lembar observasi terutama untuk mencatat setiap keadaan yang spesifik pada subjek,
saat menyampaikan informasi baik secara verbal maupun non-verbal, misalnya
ketika subjek menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, sering
tersendat-sendat karena menahan kesedihan dan kesakitannya. Observasi juga
dilakukan terhadap interaksi antara subjek dengan lingkungan sekitarnya,
seperti interaksi dengan keluarga, rumah sakit, dan aktivitas sehari-hari yang
biasa dilakukan penderita low back pain.
Keabsahan Penelitian
Menurut
Patton (dalam Moleong, 2007) empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan
untuk mencapai keabsahan, yaitu :
a.
Triangulasi
Data
Menggunakan
berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil wawancara, hasil observasi
atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memiliki
sudut pandang berbeda.
b.
Triangulasi
Pengamat
Adanya penagamat
di luar peneliti yang turut serta memeriksa hasil pengumpulan data. dalam
penelitian ini, dosen pembimbing bertindak sebagai pengamat (expert judgment) dan memiliki latar
belakang sebagai psikolog kesehatan yang memberikan masukan terhadap hasil
pengumpulan data.
c.
Triangulasi
Teori
Pengunaan teori
yang berlainan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memenuhi
syarat. Pada penelitian ini, berbagai teori telah dijelaskan pada bab II untuk
dipergunakan dan menguji data yang telah terkumpul.
d.
Triangulasi
Metode
Pengunaan
berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode wawancara, observasi,
metode kuantitatif atau metode kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti
melakukan metode wawancara yang ditunjang dengan metode observasi.
Teknik
triangulasi akan menampilkan temuan yang akurat apabila dilakukan seluruhnya
dengan baik. Meski demikian, Patton (dalam Poerwandari, 1998) mengingatkan
bahwa triangulasi merupakan suatu konsep ideal yang kadang kala atau bahkan
sekarang tidak dapat dicapai karena berbagai hambatan. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan keempat teknik dalam metode triangulasi untuk mencapai
keabsahan penelitian.
Prosedur Penelitian
Prosedur
penelitian meliputi prosedur persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian dan
pencatatan data.
Prosedur Persiapan Penelitian
Tahap Persiapan
Pertama-tama
disusun pedoman wawancara untuk memperoleh data, pedoman wawancara ini disusun
sesuai dengan tujuan penelitian dari teori-teori yang berhubungan dengan
masalah yang ingin diperoleh, yaitu untuk mendapatkan gambaran tentang psychological well-being pada penderita low back pain.
Pertanyaan-pertanyaan
yang terdapat dalam pedoman wawancara disusun berdasarkan aspek-aspek yang
ingin diketahui yaitu tentang psychological
well-being pada penderita low back pain.
Persiapan Ijin Penelitian
Rencana
penelitian ini akan dilakukan di rumah subjek dan di rumah sakit. Sebelum
dilaksanakan peneliti menyampaikan surat permohonan ijin ke subjek yang
bersangkutan. Setelah ijin diperoleh, maka peneliti mulai menyusun jadwal untuk
melakukan wawancara dengan para subjek yang menderita low back pain.
Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan
penelitian direncanakan dimulai dari tanggal 1 Juni 2013 sampai 30 Juni 2013.
Waktu wawancara disesuaikan dengan kesediaan masing-masing subjek dan
disesuaikan dengan tahapan yang telah direncanakan sebelumnya. Wawancara
dilaksanakan di rumah sakit, tempat kuliah, tempat kerja dan di rumah subjek
seusai melakukan aktivitas atau kegiatan serta ketika subjek melakukan konseling
dan terapi baik ke psikolog maupun ke dokter. Apabila terdapat kekurangan
informasi yang digali ketika wawancara, maka peneliti akan kembali menghubungi
subjek keesokan harinya. Urutan dan
formulasi pertanyaan terkadang berubah, tetapi tidak menyimpang dari intinya,
dan disesuaikan jika diperlukan. Observasi dilakukan bersamaan dengan proses
wawancara.
Apabila
informasi yang diperlukan telah cukup, maka peneliti akan menghentikan
wawancara dan mengucapkan terima kasih atas semua informasi dan kerjasama yang
telah diberikan oleh subjek. Setelah selesai melakukan wawancara, semua data
yang telah direkam kemudian ditranskripkan secara verbatim.
Prosedur Analisis Data
Penelitian
kualitatif tidak memiliki rumus standar untuk mengolah dan menganalisa data.
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mngurutkan data ke dalam
pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moelong, 2005).
Menurut
Poerwandari (2005) beberapa hal yang harus dilakukan agar data yang diperoleh
dapat diolah, yaitu melakukan organisasi data, koding dan analisis, kemudian
melakukan interpretasi.
1.
Organisasi
Data
Dengan
data kualitatif yang sangat banyak dan beragam, menjadi kewajiban peneliti untuk
mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan lengkap. Hal-hal yang
penting untuk disimpan dan diorganisasi adalah :
a.
Data
mentah (catatan lapangan, hasil rekaman).
b.
Data
yang sudah diproses sebagiannya (transkripsi wawancara).
c.
Data
yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode spesifik.
d.
Penjabaran
kode-kode dan kategori-kategori secara luas melalui skema.
2.
Koding
dan Analisis
Langkah
pertama dalam melakukan koding, peneliti dapat membuat transkrip verbatim (kata
demi kata) atau catatan lapangan . Langkah kedua, peneliti dapat melakukan
penomoran pada baris-baris transkrip dan langkah ketiga peneliti memberikan
nama pada nomor-nomor tersebut dengan menggunakan kode-kode yang sudah
ditentukan.
3.
Interpretasi
Berdasarkan
pada koding yang telah dilakukan dari hasil wawancara dengan responden,
peneliti melakukan interpretasi mengenai hasil wawancara.
SIMPULAN
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa kedua subjek tidak mengalami masalah dalam
tujuan hidup (purpose in life),
perkembangan diri (personal growth)
dan penerimaan diri (self acceptance).
Memiliki perbedaan dalam penguasaan lingkungan (enviromental mastery), walaupun kedua subjek N dan I, sama-sama
tidak bisa menguasai keadaan lingkungan
bila nyeri yang menekan datang atau kambuh namun cara mereka untuk
menguasai situasi dan keadaan berbeda. Memiliki juga perbedaan dalam dimensi
kemandirian (autonomy) dan hubungan
positif dengan orang lain (positive
relation with others).
Kemudian
dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan dijelaskan dalam bab sebelumnya,
peneliti juga menemukan strategi-strategi penyelesaian masalah (coping) yang dilakukan oleh kedua subjek
tersebut. Pada subjek pertama, pada saat situasi yang sangat tertekan ia pernah
melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak baik seperti minum-minuman beralkohol
dan upaya bunuh diri hal ini terjadi kurang lebih 1,5 tahun yang lalu.
Sedangkan pada subjek kedua, ia lebih memilih untuk bercerita kepada keluarga
dan sahabatnya bila ia mengalami situasi yang sangat tertekan untuk
mengeluarkan unek-unek yang ada di dalam dirinya serta melakukan
kegiatan-kegiatan positif yang bisa menangkannya seperti jalan-jalan, nonton
film dan sebagainya.
DISKUSI
Individu
yang mengalami nyeri kronis mengalami perubahan secara fisiologis dan
psikologis. Dari segi fisiologis individu akan mengalami perubahan denyut
jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, adanya tegangan pada otot-otot,
keringat pada telapak tangan dan perubahan pada ukuran pupil (Purwandari,
2008). Sedangkan dalam aspek psikologis, individu memiliki pandangan yang
negatif mengenai sakit, mengalami depresi, lelah, putus asa, mengalami gangguan
tidur, gangguan terhadap pola makan dan imobilitas atau inaktivitas fisik
seperti menarik diri dari lingkungan sosial, tidak ada harapan akan kesembuhan,
mempekirakan nyeri akan berlangsung lama (Smeltzer & Bare, 2002).
Berdasarkan
temuan data di lapangan yang didapatkan peneliti dari rekam medis masing-masing
subjek, kedua subjek mengalami perubahan secara fisik dan psikologis seperti
naik turunnya berat badan, mengalami perubahan denyut jantung ketika sedang
sakit, adanya tekanan atau tegangnya otot-otot di daerah nyeri yang diakibatkan
dari letak nyeri dan mobilisasi yang tidak baik pada kedua subjek. Secara
psikologis kedua subjek mampu memperlihatkan ekspresi seperti sedih dan ceria,
mengalami gangguan tidur beberapa hari, mengalami gangguan makan dan jarang
makan ketika sakit kambuh, mengalami gangguan suasana hati atau bad mood, cepat lelah yang disebabkan
dari efek terapi yang dilakukan masing-masing subjek, kedua subjek juga
mengalami stress dan depresi ketika deadline
tugas dan kuliah serta pekerjaan, ketika mengalami masalah dengan orang lain
dan ketika sakit kambuh yang tidak bisa dikontrol. Hasil ini sesuai dengan
respon fisik dan psikologis yang ditemukan oleh Purwandari (2008) dan Smeltzer
dan Bare (2002) ketika individu mengalami nyeri khususnya kronis.
Dalam
penelitian ini faktor-faktor nyeri juga mempengaruhi kedua subjek seperti faktor fisiologi, sosial, dan psikologis. Pada
faktor fisiologi terdiri aspek usia dan kelelahan. Dari aspek usia, terdapat
perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa dalam persepsi dan pengungkapan
rasa nyeri (Taylor, 1997; Potter & Perry, 2009). Orang dewasa akan
mengungkapkan rasa nyeri ketika sakitnya sudah berat (Potter & Perry, 2005).
Hal inilah yang dialami oleh kedua subjek, mereka baru mendatangi tempat
perawatan ketika nyerinya kambuh dengan intensitas parah. Selain itu,
aktivitas-aktivitas yang dilakukan kedua subjek menyebabkan mereka menjadi
lelah. Seperti aktivitas kuliah, olahraga, dan pekerjaan hal ini juga
menyebabkan nyeri menjadi kambuh (aspek kelelahan) (Berger,
1992; Potter & Perry, 2009).
Kedua subjek memiliki perbedaan dalam faktor sosial. Faktor sosial
terdiri dari aspek pengalaman dan dukungan sosial (Carrol & Seers, 1998
dalam Potter & Perry, 2009). Pengalaman kedua subjek berbeda dalam
penanggulangan nyeri, hal ini dikarenakan tingkat pendidikan berpengaruh
terhadap penanggulangan nyeri sehingga pengalaman dalam mengatasi nyeri yang
kambuh berbeda. Subjek
I seorang perawat, oleh karena itu ia mengetahui bagaimana cara merawat pasien
ketika sedang sakit, hal ini lah yang ia terapkan ketika ia merasakan nyerinya
sedang kumat. Ketika sakit sedang kambuh subjek I akan makan-makanan yang
sehat, sering melakukan stretching
dan terapi sinar inframerah, mengambil 3 hari izin untuk tidak bekerja, patuh
terhadap jadwal istirahat dan minum obat. Sedangkan pada subjek N ketika
sakitnya sedang kambuh, ia akan istirahat dengan cara tidur, makan-makanan yang
sehat dan minum obat, tidak membuka tugas-tugas deadline baik itu dari kampus maupun dari organisasi. Ketika
nyerinya bisa dikontrol barulah ia akan melakukan stretching dan terapi salah satunya dengan terapi akupuntur.
Selain
itu, dukungan sosial juga merupakan faktor sosial yang berperan penting dalam
penanggulangan nyeri. Subjek I mendapatkan dukungan dari keluarga dan
sahabat-sahabatnya seperti diingatkan untuk minum obat dan makan-makan yang
sehat, diingatkan untuk beristirahat, di antar dan di temani ke tempat terapi,
sehingga ia menjadi nyaman dan nyerinya berkurang (Potter & Perry, 2009).
Sebaliknya subjek N tidak mendapatkan hal tersebut. Ketika sakit sedang kambuh
subjek N hanya beristirahat di kamar, ia tidak pergi kemana-mana dan tidak
bercerita kepada orang lain sehingga nyeri yang dirasakannya menjadi lebih berat
(Mubarak & Chayatin, 2007). Barulah ketika sakitnya sudah bisa ia kontrol,
ia akan bercerita ke sahabat-sahabatnya. Adanya dukungan sosial membuat, kedua
subjek tidak menarik diri dari lingkungan sosial. Mereka masih bisa
beraktivitas seperti biasa, karena memiliki hubungan yang positif dengan orang
lain, cukup mandiri dalam beraktivitas, menerima situasi dan kondisi sakit atau
nyeri yang mereka derita.
Dalam
penelitian ini, peneliti juga menemukan bahwa kedua subjek menggunakan
strategi-strategi penyelesaian (coping)
untuk menyelesaikan yang mereka alami sehubungan dengan nyeri yang mereka
derita (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Coping adalah usaha individu baik secara kognitif maupun tingkah
laku dalam mengelola tuntutan internal maupun eksternal yang dinilai melebihi
kapasitas kemampuan individu (Lazarus & Folkamn, 1984). Lazarus dan Folkman
(Taylor, 2003) membagi coping yang
dilihat dari fungsinya menjadi dua bagian yaitu problem-focused coping dan emotion-focused
coping. Emotion-focused coping yaitu coping yang bertujuan untuk mengontrol respon
emosional dari masalah yang dihadapi. Problem-focused coping yaitu coping bertujuan
untuk mengurangi tuntutan dari
situasi yang menekan atau memperluas sumber yang dimiliki untuk menutupi tuntutannya (Lazarus dan
Folkman, 1984). Kemudian Lazarus dan Folkman (1986) membagi strategi coping menjadi dua bagian yaitu yang
lebih memfokuskan pada problem-focused
coping dan emotion-focused coping.
Problem-focused coping meliputi
dimensi planful problem solving (usaha
individu untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang
hati-hati, bertahap dan analitis),
confrontative coping (usaha individu untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang agresif dan mengalami resiko), seeking social support (usaha individu untuk mendapatkan
kenyamanan atau dukungan emosional dan bantuan informasi dari orang lain), accepting responsibility (usaha
individu untuk menyadari tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam
permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerima untuk membuat semuanya
menjadi lebih baik), escape-avoidance (usaha
individu untuk mengatasi situasi yang menekan dengan cara lari dari situasi
tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum
atau menggunakan obat-obatan), positive
reappraisal (usaha individu untuk mencari makna positif dari permasalahan
yang ada dengan fokus pada pengembangan diri dan biasanya melibatkan hal-hal
yang bersifat religius). Emotion-focused
coping meliputi dimensi self control (usaha
individu untuk mengatur perasaan dan kontrol diri ketika menghadapi yang
menekan) dan distancing (usaha
individu untuk tidak terlibat dalam permasalahan seperti menghindar dari
permasalahan seakan-akan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan
pandangan-pandangan yang positif seperti menganggap masalah sebagai lelucon).
Dari
keseluruhan strategi coping tersebut,
kedua subjek menggunakan strategi coping yang
dominan dalam dimensi positive
reappraisal dan accepting
responsibility. Kedua subjek menjadi lebih berhati-hati dalam berkendaraan
khususnya kendaraan bermotor, belajar untuk mengetahui situasi dan kondisi
dalam menentukan pilihan baik itu dalam aktivitas maupun ketika mengambil
keputusan yang akan dijalaninya (positive
reappraisal). Belajar untuk bertanggung jawab dari pilihannya, bertanggung
jawab atas situasi dan kondisi yang terjadi pada dirinya sendiri (accepting responsibility).
SARAN
Untuk
selanjutnya, tentu masih banyak hal lain yang bisa ditambahkan dalam penelitian
yang menyangkut tentang psychologicall
well-being dan nyeri secara umum. Oleh sebab itu peneliti akan memberikan
saran-saran sebagai berikut :
1.
Bagi
peneliti selanjutnya
Disarankan agar
melakukan penelitian dengan membandingkan psychological
well-being pada penderita low back
pain antara pria dan wanita. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Mayers, Robinson, Riley dan Sheffield (2001), dimana ada perbedaan antara
pria dan wanita dalam mengungkapkan rasa nyeri. Wanita lebih menunjukkan
sensitifitas terhadap nyeri daripada pria (Brannon &
Feist, 2007).
Selain itu, respon terhadap rasa nyeri juga dipengaruhi oleh budaya baik pada
pria maupun wanita (Gill, 1990). Beberapa
budaya misalnya menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak
boleh menangis sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama
(Potter & Perry, 2005).
2.
Bagi
psikolog
Bagi psikolog
disarankan untuk menggunakan pendekatan konseling dan terapi yang sesuai dengan
kasus nyeri kronis pada individu khususnya yang mengalami low back pain. Hal ini karena, nyeri yang disebabkan oleh low back pain memiliki aspek psikologis
yang berpengaruh pada persepsi nyeri, yang selanjutnya berdampak terhadap
penanggulan nyeri.
3.
Bagi
penderita low back pain
Penderita low back pain disarankan untuk menjalin relasi sosial yang positif
dengan keluarga dan teman-temannya, bersikap terbuka terhadap orang lain agar
dapat memperoleh dukungan sosial dalam atau masalah yang timbul akibat low back pain. Penderita low back pain juga disarankan untuk
tetap melakukan terapi baik dari segi medis maupun psikologis untuk setiap
intensitas nyeri baik parah, sedang maupun ringan. Individu juga disarankan
untuk membuat rancangan pengaturan waktu (time
table) antara aktivitas dengan waktu istirahat sehingga nyeri mereka tidak
sering kambuh. Individu juga disarankan untuk melakukan kegiatan-kegiatan
positif atau hobi yang disukai untuk mengurangi tekanan, sakit atau nyeri yang
diakibatkan oleh low back pain.
4.
Bagi
keluarga
Keluarga
disarankan untuk memberikan dukungan baik secara material maupun non material.
Hal ini dikarenakan keterlibatan keluarga dapat mengurangi perilaku yang kurang
kondusif bagi kesehatan individu seperti memberikan perhatian dengan cara
mengingatkan pasien untuk minum obat dan waktu untuk beristirahat, menanyakan
kondisi pasien, serta mengantar atau menemani pasien ketika berobat ke dokter
maupun ke psikolog (Williamson, Walters, & Shaffer, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Berger,
K. J. (1992). Fundamentals of nursing collaborating for optimal health.
Karen. J. Berger, Marylin Brinkman Williams. Neurosensory integration.
Connecticut: Appleton & Lange.
Brannon
& Feist. (2007). Health psychology. USA: Thomson Wadsworth.
Brunner
& Suddarth. (2001). Keperawatan medikal
bedah (ed, 8). Jakarta: EGC.
Brunner
& Suddart. (2003). Buku ajar
keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC.
Caudill, S. M. A., Schwartz, L. M.,
& Woloshin, S. (2004). Office visits and analgesic prescriptions for
musculoskeletal pain in US: 1980 vs 2000. Pain, 109, 514-519.
Cohen,
R. I., Chopra. P., & Uphshur. C. (2001). Low back pain part 1 : Primary
care work-up of acute and chronic symptoms. Geriatrics,
26-37.
Cresswell, J. W. (1994). Research design, qualitative and
quantitative approaches. Thousand Oaks, California: Sage.
Creswell, J. W. (1998). Qualitative inquiry and research design
choosing among five traditions. Thousand Oaks, California: Sage.
Deyo,
R. A., & Weinstein, J. N. (2001). Low back pain. Avaiable from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/344/5/363 [Accessed 1
April 2013]
Dwiyono.
(2004). Penyembuhan rasa nyeri. Jakarta
Feske,
S. K., & Greenberg, S. A. (2003). Degenerative and compressive structural
disorder. In : Textbook of clinical
neurology (2nd ed). Philadelphia: Saunders.
Freburger,
J. K. (2009). The rising prevalence of chronic low back pain. Arch Intern
Medicine, 169, 251-258.
Gill, F. S. (1990). Buku saku kesehatan kerja. Jakarta: EGC.
Harahap,
I. A. (2007). The relations among pain intensity, pain acceptance and pain
behavior in patients with chronic cancer pain in Medan, Indonesia.
Thailand: Copyright of prince of Songkla University.
Herdiansyah,
H. (2009). Metode penelitian kualitatif,
seni dalam memahami fenomena sosial. Yogyakarta: Greentea Publishing.
Hills,
E. C. (2010). Mechanical low back pain. Avaiable from: http://emedicine.medscape.com/article/310353-overview. [Accessed 20
Maret 2013]
Keyes,
C. L. M., Shmotkin, D., & Ryff, C. D. (2002). Optimizing well-being: The
empirical encounter of two traditions. Journal of Personality and Social
Psychology, 82, 1007– 1022. doi: 10.1037//0022-3514.82.6.1007
Lazarus,
R. S., & Folkman, S. (1984). Coping and adaptation, In: Ganrty, W. D.,
(ED). Handbook of behavior medicine.
New York / London: The Gilford.
Lazarus,
R. S., & Folkman, S. (1984). Stress,
appraisal and coping. New York: Springer Publisher Company.
Lazarus,
R. S., & Folkman, S. (1986). Stress,
appraisal and coping. New York: Springer.
Lehmann J. F., DeLisa, J. A., Warren, C. G., DeLateur, B. J., Bryant, P.
L., & Nicholson, C. G. (1978). Assessment of need, development, and
evaluation of a model of care. Arch,
Phys, Med, Rehabil, 59, 410-419.
Louw,
Q. A., Morris, L. D., & Somers, K. G. (2007). The Prevalence of Low Back
Pain in Africa: A Systematic Review. BMC
Muskuloskeletal Disorder, 8, 105.
Luckmann
& Sorensen. (1987). Medical surgical nursing. USA: WB. Saundress.
Meliala,
L. (2004). Terapi rasional nyeri :
Tinjauan khusus nyeri neuropatik. Jogyakarta: Aditya Media.
Moleong,
L. J. (2000). Metodologi penelitian kualitatif (Cet. 13). Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Moleong,
L. J. (2005). Metodologi penelitian kualitatif (Cet. 21). Bandung: PT Remaja Rodakarya Offset.
Moleong,
Lexy. (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja
Rodakarya Offset.
Morgan G.
E., Michail M. S., Muray M. J. (2006). Clinical
anesthesiology (4th ed). New York: Lange.
Mubarak,
& Chayatin, W. N. (2007). Buku ajar
kebutuhan dasar manusia : Teori dan aplikasi dalam praktek. Jakarta: EGC.
Nachemson,
A. L., Waddell, G., & Norlund, A. (2000). Epidemiology of neck and low back
pain. Neck and back pain : The scientific evidence of causes, diagnosis and
treatment. Philadelphia.
Papalia,
D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2008). Human development (9th ed). Jakarta: Kencana.
Picavet,
H. S. J., & Schouten, J. S. A. G. (2001). Musculoskeletal pain in the
Netherlands: prevalences consequences and risk groups, the DMC3-study. Pain, 102, 167-178.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam
penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan
Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.
Poerwandari,
E. K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pembangunan Sarana
Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).
Poerwandari,
E. K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.
Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Poerwandari,
E. K. (2009). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Fakultas
Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pembangunan Sarana Pengukuran dan
Pendidikan Psikologi (LPSP3).
Potter, P.
A., & Perry, A. G. (2005). Fundamental
of nursing : Concepts, process and practice. St. Lois Missiouri: Mosby
Company.
Potter,
P. A., & Perry, A. G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan :
Konsep, Proses, dan Praktik (ed,
4). Jakarta: EGC.
Potter,
P. A., & Perry, A. G. (2009). Fundamentals of Nursing (7th ed).
Phillippines: Mosby.
Price & Wilson. (2005). Patofisiology
(6th ed). Jakarta: EGC.
Purwandari,
A. (2008). Konsep kebidanan : Sejarah dan
profesionalisme, Jakarta: EGC.
Radler, C.
(2000). Phases of Adaptation and
Individuals with physical disabilities.
Ryan,
R. M., Edward, L., & Deci (2001). On happiness and human potentials: A
review of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Review of
Psychology, 52, 141-166.
Ryff,
C. D. (1989). In the eye of the
beholder: Views of psychological well-being among middle aged and older adults.
Psychology and Aging, 4, 195-210.
Ryff,
C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of
psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081.
Ryff,
C. D. (1989a). Beyond Ponce de Leon and life satisfaction: New directions in
quest of successful aging. International Journal of Behavioral Development,
12, 35-55.
Ryff, C. D. & Keyes, C. L. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social
Psychology, 69, 719-727. Doi: 0022-3514/95/$3.00.
Ryff,
C. (1995), Psychological well-being in adult life. Curr. Dir. Psychol. Sci. 4,99-104.
Ryff,
C., & Singer, B. (1998). The contours of positive human health. Psychol.
Inq, 9, 1-28.
Ryff, D., & Singer, K. (2006). Know Thyself and Become What
You Are: A Eudaimonic Approach to Psychological Well-Being. Journal of Happiness Studies, 9,
13-19.
Silverman, D. (2004). Qualitative
research, theory, method and practice. London: Sage.
Smeltzer,
S. C., & Bare, B. G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah (ed,
8). Jakarta: EGC.
Smet,
B. (1994). Psikologi kesehatan.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Snyder,
C. R., & Lopez, S. J. (2001). Handbook
of positive psychology. USA: Oxford University Press, Inc.
Stewart,
C. J., & Cash, W. B. (2003). Interviewing,
principles and practices. New York: McGraw Hill.
Taylor,
S. E. (1995). Health psychology (3rd ed). Los Angeles: McGraw-Hill, Inc.
Taylor,
S. E. (1999). Health psychology (4th
ed). Singapore: Mc. Graw Hill.
Taylor, S. E.
(2003). Health psychology (5th ed). Los Angeles: McGraw-Hill, Inc.
Turk,
D. C. & Flor, H. (2002). Chronic
pain: A biobehavioral perspective. In R. J. Gatchel & Turk, D. C.
(Ed.). Psychosocial Factors in Pain
(pp. 18-34). New York: The Guilford Press.
Van
Tulder, M., Becker, A., Bekkering, T., Breen, A., Real, M. T. G., Hutchinson,
A., Koes, B., Laerum, E., & Malmivaara, A. (2006). European guidelines for
the management of aute nonspecific low back pain in primary care. Europe Spine J, 15, 169-191.
Vazquez,
C., Hervas, G., Rahona, J. R., & Gomez, D. (2009). Psychological well-being
and health. Contributions of positive psychology. Annuary of Clinical and
Health Psychology, 5, 15-27.
Wheeler,
S. G., Wipft, J. E., Staiger, T. O., & Deyo, R. A. (2009). Approach to
the diagnosis of low back pain in adults. Avaiable from: http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do?topicKey=~NAN/sJQ3H1Jycr. [Accessed 15
Maret 2013]
Williamson,
G. M., Walters, A. S., & Shaffer, D. R. (2002). Caregiver models of self
and others, coping, and depression: Predictors of depression in children with
chronic pain. Health Psychology, 21, 405-410.