Kamis, 29 Agustus 2013

Jurnal Gambaran Psychological Well-Being pada Penderita Low Back Pain

Gambaran Psychological well-being pada Penderita Low Back Pain

KADEK PRAMITHA SARI

Fakultas Psikologi Universitas Pancasila


Abstract : Individual suffering from low back pain has physiological and psychological change. Individual psychological response having low back pain is that individual becomes more sensitive, easily depressed, tired, performs denial attitude, has insomnia, eating disorder, mood and emotional disorders immobility such as withdrawing from his/her social environment, being hopeless for recovery and estimates that the pain will take a long time. Based on the matters above, the researcher is interested to see a picture of psychological well-being on the sufferer of low back pain. Dimensions of psychological well-being are self acceptance, positive relation with others, environmental mastery, purpose in life and personal growth. The method used in this study is using qualitative approach of case study by means of observation and interview. Data obtained from this study are analyzed with triangulation technique.
The result of this study shows that the appreciation of these both study subjects has purpose in life, personal growth and good self-acceptance. Nevertheless both subjects in this study has different in dimension autonomy, enviromental mastery and positive relation with others.
Kata kunci : psychological well-being, nyeri dan low back pain

PENDAHULUAN
Setiap individu pernah mengalami nyeri dalam tingkatan tertentu. Nyeri merupakan alasan yang paling umum individu mencari perawatan kesehatan, karena nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan aktivitas individu (Potter & Perry, 2005). Pengungkapan terhadap rasa nyeri bersifat sangat subjektif dan hanya orang yang mengalami yang dapat mengungkapkan, menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Mubarak & Chayatin, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP) nyeri adalah perasaan subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan karena terkait dengan kerusakan jaringan yang nyata, berpotensi rusak atau yang menggambarkan kondisi adanya terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2005).
Menurut penelitian Chronic Pain Association of Australia (2009), lebih dari 3,2 juta warga Australia yang menderita nyeri kronik. Nyeri tersebut kebanyakan berasal dari nyeri sendi dan tulang belakang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Jerman, terdapat sekitar 40% orang dewasa mengeluh nyeri punggung, 10% mengeluh nyeri pada kepala akibat migren dan sekitar 3% mengeluh sakit kepala kronis. Jumlah penderita nyeri semakin meningkat mencapai sekitar 20 juta orang dari tahun ke tahun (Dwiyono, 2004).
Dampak nyeri akan semakin meningkat sesuai dengan usia dan letak nyeri itu sendiri (Harahap, 2007). Selain itu individu yang mengalami nyeri, kehilangan banyak jam kerja untuk berobat dan beristirahat, dan kehilangan pekerjaan serta biaya konsultasi dan perawatan yang cukup mahal seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Individu yang mengalami nyeri harus mengeluarkan dana sebesar $10.000 untuk konsultasi dan perawatan nyeri (Stewart, 2003).
Secara umum, ada dua kategori nyeri yaitu nyeri akut dan nyeri kronis (Brunner & Suddarth, 2001). Nyeri akut merupakan nyeri yang bersifat sementara, terjadi kurang dari enam bulan dan letak nyeri dapat diidentifikasi. Sedangkan nyeri kronis, nyeri yang bertahan lebih lama yaitu lebih dari enam bulan, sumber nyeri tidak dapat diidentifikasi dan nyeri sulit untuk diobati maupun dihilangkan karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya (Morgan, Michail & Murray, 2006). Respons psikologis terhadap rasa nyeri akut dan kronis itu berbeda. Respons psikologis pada nyeri akut berupa cemas, tidak mampu konsentrasi, gelisah dan memiliki pandangan negatif, serta tetap optimis nyeri akan hilang (Cohen dkk, 2001). Sedangkan respons psikologis terhadap nyeri kronis berupa pandangan negatif, depresi, lelah, putus asa, mengalami gangguan tidur, gangguan terhadap pola makan dan imobilitas atau inaktivitas fisik seperti menarik diri dari lingkungan sosial, tidak ada harapan akan kesembuhan, memperkirakan nyeri akan berlangsung lama (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut US National Survey tahun 2002, sekitar 60-80% dari seluruh penduduk dunia pernah mengalami paling tidak satu episode nyeri punggung atau pinggang selama hidupnya. Kelompok studi nyeri (Pokdi nyeri) PORDOSSI (Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia) melakukan penelitian pada bulan Mei 2002 di 14 rumah sakit pendidikan salah satunya yang dilakukan di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian LBP sebesar 15,6% di seluruh kasus nyeri yang ditangani (Meliala, 2004).
Penelitian yang dilakukan Picavet dan Schouten (2001) terhadap 8.000 sampel yang berumur di atas 25 tahun ke atas, melaporkan nyeri yang paling banyak dialami oleh individu yaitu 1) LBP (22,2%); 2) bahu (15,1%); 3) leher (14,3%); 4) lutut (11,7%); 5) pergelangan/tangan (9,3%); 6) punggung atas (7,4%); 7) pinggul (6,2%); 8) siku (5,3%); 9) kaki (5,0%); 10) pergelangan kaki (3,5%).
Low Back Pain (LBP) adalah nyeri yang berasal dari gangguan muskulosketelal (tulang belakang, otot, atau saraf) yang disebabkan oleh aktivitas atau mobililasi yang salah (Caudil, 2004). Penyebab timbulnya rasa sakit pada LBP adalah terjadinya tekanan pada saraf (saraf terjepit) yang disebabkan oleh pekerjaan, posisi tubuh dan kecelakaan. Biasanya nyeri baru dirasakan pertama kali ketika seseorang mengangkat beban yang berat, posisi tubuh yang salah akibat tidur maupun duduk, dan akibat trauma atau kecelakaan yang mengakibatkan penyempitan saraf yang dikenal dengan istilah herniated nucleus pulposus (Feske & Greenberg, 2003).
Menurut Childz (Schmidt dkk, 2006), efek nyeri yang disebabkan oleh LBP memiliki dampak terhadap ekonomi (keuangan), sosial dan kesehatan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Di Inggris misalnya pengobatan terhadap LBP pertahun menghabiskan biaya sebesar 200 juta poundsterling untuk konsultasi dan biaya pengobatannya (Nachemson dkk, 2000).
Respons psikologis individu terhadap nyeri kronis terutama yang disebabkan oleh LBP adalah individu menjadi lebih sensitif, lebih mudah depresi, lelah, melakukan sikap penolakan atau menyangkal (denial), mengalami gangguan tidur, mengalami gangguan terhadap pola makan, mengalami gangguan suasana hati dan emosi, imobilitas seperti menarik diri dari lingkungan sosialnya, tidak mempunyai harapan akan kesembuhannya dan memperkirakan nyeri akan berlangsung lama (Radler, 2000). LBP memiliki dampak psikologis yang negatif dan cukup besar mempengaruhi kehidupan individu dalam beraktivitas sehari-hari. Individu yang mengalami LBP akan lebih mudah depresi, lelah dan mobilitasnya menjadi terhambat (Radler, 2000). Dalam keadaan tersebut sangat sulit bagi penderita LBP untuk dapat menerima dirinya karena keadaan dan penanganan LBP ini dapat menimbulkan stress yang terus-menerus, sehingga tidak hanya mempengaruhi penyesuaian fisik tapi juga kesejahteraan psikologis (psychological well-being) individu (Lehmann, deLisa, Warren, deLateur, Bryant, & Nicholson, 1978).
Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologis (psychological well-being) merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya (self acceptance), mandiri (autonomy), mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain (positive relation with others), dapat menguasai lingkungannya dalam arti dapat memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya (enviromental mastery), memiliki tujuan dalam hidup (purpose in life), serta terus mengembangkan pribadinya (personal growth).
Bila dikaitkan dengan dimensi-dimensi psychological well-being, individu yang mengalami nyeri kronis yang disebabkan oleh LBP, membuat individu menjadi sangat sensitif, mudah depresi dan kurang puas terhadap dirinya saat ini sehingga ia tidak mampu menerima kondisi yang terjadi pada dirinya saat ini (self acceptance). Setelah itu nyeri kronis dapat menjadikan individu kurang percaya diri dan tidak mampu mengontrol suasana hati dan emosi baik yang disebabkan dari internal maupun eksternal dirinya (enviromental mastery) (Ryff, 1989). Kemudian individu kurang mampu memaknai arti dan tujuan hidup (purpose in life), tidak memiliki keyakinan dalam hidup untuk bisa sembuh, tidak dapat meningkatkan dan mengembangkan diri (personal growth), tidak mampu mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baik pada orang lain (positive relation with others) (Ryff & Singer, 2006), sehingga menjadikan individu tersebut menarik diri dari lingkungan sosialnya (Radler, 2000).
Nyeri merupakan kondisi yang bersifat subjektif (Mubarak & Chayatin, 2007). Oleh karena itu, peneliti ingin melihat bagaimana gambaran psychological well-being pada penderita LBP dengan menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya (Bogdan & Taylor dalam Moleong, 2005). Tujuannya menggunakan pendekatan metode kualitatif adalah peneliti ingin mendapatkan gambaran penghayatan individu secara mendalam. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara. Data yang diperoleh dianalisis melalui teknik triangulasi untuk mengecek keabsahan data.

Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran psychological well-being pada penderita low back pain.

Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan psikologi khususnya psikologi kesehatan terutama yang berkaitan dengan  psychological well-being pada penderita low back pain. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi masukan bagi penelitian yang ingin melakukan penelitian terkait dengan psychological well-being dan low back pain.
Manfaat Praktis 
1.   Bagi psiokolog
Bagi psikolog, disarankan untuk menggunakan pendekatan konseling dan terapi yang sesuai dengan kasus nyeri kronis pada individu yang mengalami low back pain dikarenakan nyeri yang disebabkan oleh low back pain sangat subjektif.
2.   Bagi penderita low back pain
Penderita low back pain, disarankan untuk tetap melakukan terapi baik dari segi medis maupun psikologis walaupun intensitas kambuhnya parah, sedang maupun ringan.
3.   Bagi keluarga
Keluarga disarankan untuk memberikan dukungan baik secara material maupun non material.  

TINJAUAN PUSTAKA
Psychological well-being
Well-being didefinisikan sebagai derajat seberapa jauh seseorang dapat berfungsi secara optimal (Ryan & Deci, 2001). Menurut Ryan dan Deci (2001), penelitian mengenai well-being yang telah dilakukan selama ini didasarkan pada dua perspektif yang berbeda. Perspektif yang pertama disebut pendekatan hedonik (hedonic approach), sedangkan pendekatan lainnnya disebut pendekatan eudaimonik.
Eudaimonia (kebahagiaan) pertama kali dikenal melalui tulisan filsuf Aristoteles yang selanjutnya dikenal dengan istilah psychological well-being. Aristoteles (dalam Ryff,1989) menyatakan bahwa pengertian bahagia bukanlah diperoleh dengan jalan mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit, atau terpenuhinya segala kebutuhan individu melainkan melalui tindakan nyata di mana individu mengaktualisasikan potensi-potensinya. Hal inilah yang merupakan tugas dan tanggung jawab manusia sehinga merekalah yang menentukan apakah menjadi individu yang merasa bahagia, merasakan apakah hidupnya bermutu, berhasil atau gagal.
Penelitian mengenai psychological well-being penting untuk dilakukan karena nilai positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya membuat seseorang dapat mengidentifikasi apa yang hilang dalam hidupnya (Ryff, 1995). Lawton (dalam Keyes, 2003), mendefinisikan psychological well-being sebagai tingkat evaluasi mengenai kompetensi dan diri seseorang, yang ditekankan pada hirarki tujuan individu.
Menurut Ryff (1989),  psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya (self acceptance), mandiri (autonomy), mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain (positive relation with others), dapat menguasai lingkungannya dalam arti dapat memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya (enviromental mastery), memiliki tujuan dalam hidup (purpose in life), serta terus mengembangkan pribadinya (personal growth). Psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan afek negatif, namun juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup (Keyes, Shmotkin dan Ryff, 2002).
Psychological well-being memiliki enam dimensi, dimana masing-masing dimensi menjelaskan tantangan-tantangan yang berbeda yang dihadapi individu untuk dapat berfungsi secara penuh dan positif (Ryff, 1989a; Ryff & Singer, 2006; Ryff, dalam Keyes & Haidt, 2003). Dimensi-dimensi tersebut adalah :
1.   Penerimaan Diri (Self Acceptance)
Dimensi ini mendefinisikan individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik, yang ditandai dengan sikap yang positif terhadap diri sendiri, mengetahui dan menerima segala aspek yang ada pada dirinya, baik kelebihan maupun kekurangan, serta memiliki sikap yang positif terhadap kehidupan di masa lalu. Sebaliknya, individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa terhadap apa yang terjadi di masa lalu, terganggu dengan sifat-sifat tertentu yang dimiliki dan memiliki keinginan tidak menjadi dirinya (Ryff, 1995).
2.   Otonomi (Autonomy)
Dimensi ini dideskripsikan dengan individu yang mampu menampilkan sikap kemandirian, menolak pikiran dan tindakan yang tidak sesuai, melakukan regulasi dari tindakan yang diambil, memiliki standar evaluasi terhadap diri sendiri. Individu yang memiliki tingkatan otonomi yang baik ditunjukkan sebagai pribadi yang mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, mampu mengatur tingkah laku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi. Sebaliknya, individu yang terlalu memikirkan ekspektasi dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada orang lain untuk mengambil suatu keputusan serta cenderung untuk bersikap konform terhadap tekanan sosial, menandakan individu tersebut belum memiliki tingkat otonomi yang baik (Ryff, 1995).
3.   Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)
Dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan, saling percaya dengan orang lain, peduli terhadap kesejahteraan orang lain, mampu menimbulkan empati yang kuat, kasih sayang dan kedekatan, serta mengerti arti dalam memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia (Ryff, 1995). Individu yang memiliki hubungan positif yang baik dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman serta memiliki konsep dalam memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia. Sebaliknya, individu yang kurang mampu menjalin hubungan yang positif dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, tidak terbuka dan memberikan sedikit perhatian terhadap orang lain (Ryff, 1995).
4.   Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk menguasai dan kemampuan dalam mengatur lingkungan yang kompleks, menggunakan kesempatan yang ada secara efektif, serta memilih atau membuat konteks yang pantas untuk kebutuhan dan nilai-nilai pribadinya. Individu yang baik dalam dimensi ini, menunjukkan kemampuan untuk memilih dan menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadinya dan memanfaatkan secara maksimal sumber-sumber peluang yang ada di lingkungan. Individu juga mampu mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang dapat menguasai lingkungannya akan mengalami kesulitan mengatur kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan apa yang ada diluar dirinya serta tidak menyadari peluang yang ada di lingkungan (Ryff, 1995).
5.   Tujuan Hidup (Purpose in Life)
Dimensi ini menekankan pentingnya memiliki tujuan hidup dan pentingnya keterarahan, memahami arti hidup sekarang dan lalu, percaya dapat memberikan yang terbaik dalam hidup serta memiliki tujuan dan bersikap objektif untuk hidup. Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik, memiliki target dan cita-cita serta merasa bahwa baik kehidupan di masa lalu dan sekarang memiliki makna tertentu. Individu tersebut juga memegang teguh kepercayaan tertentu yang dapat membuat hidupnya lebih berarti. Sebaliknya, individu yang kurang memaknai hidup, tidak memiliki tujuan dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu dan kurang memiliki target dan cita-cita, menandakan bahwa individu tersebut kurang memiliki dimensi tujuan hidup yang baik (Ryff, 1995).


6.   Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Dimensi ini didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki individu, merasakan perkembangan yang terjadi pada diri sendiri, serta keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru, melihat kemajuan dalam hidup dan tingkah laku, serta memilih jalan dari refleksi tentang pengetahuan dan tahu mana cara yang lebih efektif. Individu yang baik dalam dimensi ini memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang terus tumbuh, menyadari potensi-potensi yang dimiliki dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang yang stagnan, kurang peningkatan dalam perilaku dari waktu ke waktu, merasa bosan dengan hidup dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku yang baru (Ryff, 1995).
Beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada individu, yaitu: usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan budaya tiap-tiap individu.

Nyeri
International Association for Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai perasaan subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan karena terkait dengan kerusakan jaringan yang nyata, berpotensi rusak atau yang menggambarkan kondisi adanya terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2005). Kerusakan nyata misalnya terjadi pada nyeri akibat luka operasi. Berpotensi rusak misalnya pada nyeri dada karena penyakit jantung, dimana timbul nyeri sebagai pertanda akan terjadi kerusakan atau berpotensi rusak pada otot-otot jantung bila tidak ditangani secara benar (Price & Wilson, 2005).
Penyebab nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu penyebab yang berhubungan dengan fisik dan psikis (Luckmann & Sorensen, 1987). Secara fisik misalnya, penyebab nyeri adalah trauma (baik trauma mekanik, termis, kimiawi, maupun elektrik), peradangan, gangguan sirkulasi darah dan lain-lain. Secara psikis, penyebab nyeri dapat terjadi oleh karena adanya trauma psikologis (Luckmann & Sorensen, 1987).
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), ada dua kategori dari nyeri yaitu nyeri akut dan nyeri kronis.
1.   Nyeri Akut
Nyeri akut merupakan nyeri yang bersifat sementara terjadi kurang dari enam bulan dan letak nyeri dapat diidentifikasi. (Morgan, Michail & Murray, 2006). Contoh nyeri yang masuk dalam kategori nyeri akut adalah nyeri akibat luka tergores, nyeri pasca melahirkan dan nyeri pasca bedah (Rospond, 2008).
Secara fisiologis, individu yang mengalami nyeri akut dan nyeri kronis mengalami perubahan dalam fisiknya. Seperti terjadinya perubahan pada denyut jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, adanya tegangan pada otot, keringat pada telapak tangan, dan perubahan ukuran pupil (Purwandari, 2008). Respons psikologis pada nyeri akut berupa cemas, tidak mampu konsentrasi, gelisah, memiliki pandangan negatif, tetapi tetap optimis nyeri akan hilang (Cohen dkk, 2001).
2.   Nyeri Kronis
Nyeri kronis adalah nyeri yang bertahan lebih lama yaitu lebih dari enam bulan, sumber nyeri tidak dapat diidentifikasi dan nyeri sulit untuk diobati maupun dihilangkan karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya (Morgan, Michail & Murray, 2006). Contoh nyeri yang termasuk dalam kategori nyeri kronis yaitu nyeri pasca stroke, nyeri phantom (nyeri pada bagian tubuh yang telah diamputasi), arthrits, low back pain, dan osteoarthritis (Scheman, 2009).
Secara fisiologis, baik nyeri akut maupun nyeri kronis mempengaruhi fisik individu, seperti terjadinya perubahan pada denyut jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, adanya tegangan pada otot, keringat pada telapak tangan, dan perubahan ukuran pupil (Purwandari, 2008). Respon psikologis terhadap nyeri kronis berupa pandangan negatif, depresi, lelah, putus asa, mengalami gangguan tidur, gangguan terhadap pola makan dan imobilitas atau inaktivitas fisik seperti menarik diri dari lingkungan sosial, tidak ada harapan akan kesembuhan, memperkirakan nyeri akan berlangsung lama (Smeltzer & Bare, 2002).
Nyeri merupakan suatu keadaan yang kompleks yang dipengaruhi oleh faktor fisiologi, sosial, spiritual, psikologis, dan budaya. Setiap individu mempunyai pengalaman yang berbeda tentang nyeri.

Low Back Pain
low back pain (LBP) atau nyeri punggung bawah adalah suatu gejala dan bukan suatu diagnosis, dimana pada beberapa kasus gejalanya sesuai dengan diagnosis patologisnya dengan ketepatan yang tinggi, namun di sebagian besar kasus, diagnosis tidak pasti dan berlangsung lama. Dengan demikian maka LBP yang timbulnya sementara dan hilang timbul adalah sesuatu yang dianggap biasa. Namun bila LBP terjadi mendadak dan berat maka akan membutuhkan pengobatan, walaupun pada sebagian besar kasus akan sembuh dengan sendirinya. LBP yang sudah mencapai tahap kronis membutuhkan lebih banyak perhatian, karena harus merubah pula cara hidup penderita dan bahkan juga perubahan pekerjaan.
Low Back Pain (LBP) adalah nyeri yang berasal dari gangguan muskulosketelal (tulang belakang, otot, atau saraf) yang disebabkan oleh aktivitas atau mobililasi yang salah (Caudil, 2004).
LBP umumnya dikategorikan ke dalam akut, subakut, dan kronik. Nyeri punggung bawah akut biasanya didefenisikan suatu periode nyeri kurang dari 6 minggu, nyeri punggung bawah subakut adalah suatu periode nyeri antara 6-12 minggu dan nyeri punggung bawah kronik merupakan suatu periode nyeri lebih dari 12 minggu (Van, 2006).
Penyebab timbulnya rasa sakit pada LBP adalah terjadinya tekanan pada saraf (saraf terjepit) yang disebabkan oleh pekerjaan, posisi tubuh dan kecelakaan. Biasanya nyeri baru dirasakan pertama kali ketika seseorang mengangkat beban yang berat, posisi tubuh yang salah akibat tidur maupun duduk, dan akibat trauma atau kecelakaan yang mengakibatkan penyempitan syaraf yang dikenal dengan istilah herniated nucleus pulposus (Feske & Greenberg, 2003).
Respon psikologis individu terhadap nyeri kronis terutama yang disebabkan oleh LBP individu menjadi lebih sensitif, lebih mudah depresi, lelah, melakukan sikap penolakan atau menyangkal (denial), mengalami gangguan tidur, mengalami gangguan terhadap pola makan, mengalami gangguan suasana hati dan emosi, imobilitas seperti menarik diri dari lingkungan sosialnya, tidak mempunyai harapan akan kesembuhannya dan memperkirakan nyeri akan berlangsung lama (Radler, 2000).

METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya (Bogdan & taylor dalam Moleong, 2005).  
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Studi kasus dilakukan karena peneliti perlu memahami suatu kasus, individu-individu tertentu atau situasi unik secara mendalam (Poerwandari, 2005). Studi kasus ini dimaksudkan untuk melihat gambaran psychological well-being pada penderita low back pain. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu untuk menggambarkan, mendeskripsikan, memahami dan menganalisa psychological well-being pada penderita low back pain. Selain itu peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, dikarenakan nyeri bersifat subjektif yang artinya nyeri tidak proporsional, nyeri membuat individu menjadi tidak nyaman dan intensitas nyeri tiap-tiap individu berbeda dalam menafsirkannya. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengolah data dari hasil wawancara.

Subjek Penelitian
Metode Pengambilan Subjek
Subjek dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik purposive sampling. Dengan metode ini peneliti tidak terfokus pada upaya mengidentifikasi masalah-masalah mendasar, melainkan pada upaya menangkap variasi-variasi besar dalam subjek atau obyek penelitian (Poerwandari, 2007). Purposive sampling merupakan kelompok dari non-probability sampling. Purposive sampling adalah pendekatan dimana peneliti memiliki kriteria tertentu dan tidak mengambil secara acak pada subjek yang akan dipilih (Poerwandari, 1998).
Pengambilan subjek disesuaikan dengan kriteria tertentu, teori atau konstruk tertentu sesuai dengan tujuan penelitian, maka karakteristik subjek penelitian dibatasi dalam beberapa hal. Subjek juga disesuaikan dengan desain penelitian ini, kriteria subjek sesuai dengan fenomena yang terjadi di lapangan. Hal ini bertujuan agar subjek memberikan informasi yang terkait dengan penelitian, sehingga subjek perlu benar-benar representatif terhadap peristiwa yang dipelajari (Patton, dalam Poerwandari, 1998).
Karakteristik Subjek
Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.     Subjek penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah penderita yang mengalami low back pain.
2.     Memenuhi kriteria diagnosis medis low back pain.  
Peneliti melihat rekam medis subjek untuk memastikan apakah subjek menderita low back pain atau tidak.
3.     Sudah mengalami low back pain sejak 2 tahun terakhir.
Penelitian ini melibatkan subjek yang mengalami low back pain minimal dua tahun. Hal ini dikarenakan rentang waktu dua tahun dapat memungkinkan untuk melihat penghayatan terhadap nyeri dan psychological well-being.
Jumlah Subjek
Pada penelitian dengan pendekatan kualitatif, tidak ada aturan pasti dalam jumlah subjek yang harus diambil. Jumlah subjek sangat bergantung pada apa yang ingin diketahui penulis, tujuan penelitian, konteks saat itu, apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dalam waktu dan sumber daya yang tersedia (Poerwandari, 1998). Menurut Taylor dan Bogdan (1998 dalam Moleong, 2000), jumlah subjek dalam penelitian yang menggunakan wawancara seharusnya ditentukan pada akhir penelitian dan bukan pada awal dilaksanakannya penelitian. Dalam merencanakan jumlah subjek yang akan diambil peneliti mempertimbangkan bahwa data bisa memadai tetapi tetap memperhitungkan faktor efisiensi. Pada awal penelitian, direncanakan akan mengambil 2 subjek. Jumlah subjek dapat berubah disesuaikan dengan apakah data yang diperoleh sudah memenuhi untuk menjawab permasalahan penelitian.

Metode Pengumpulan Data
Metode dasar yang umumnya banyak dipergunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara dan observasi (Poerwandari, 1998). Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data utama yang akan digunakan adalah wawancara, dan sebagai metode penunjang akan digunakan metode observasi.
Wawancara
Dalam penelitian kualitatif, wawancara yang dilakukan yaitu berupa percakapan atau tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut (Moleong, 2005). Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk, 1994 dalam Poerwandari, 2009).
Dalam penelitian ini, akan digunakan metode wawancara dengan pedoman semi structured. Artinya pertanyaan-pertanyaan bersifat terbuka namun ada batasan tema dan alur, fleksibel tetapi terkontrol, ada pedoman wawancara yang menjadi patokan alur wawancara, dan untuk memahami suatu fenomena atau masalah tertentu (Herdiansyah, 2009). Sebelum wawancara ini dilaksanakan telah disusun pedoman wawancara memuat pokok-pokok pertanyaan yang akan diajukan yaitu open-ended question (pertanyaan-pertanyaan terbuka dan tertutup) yang bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2009). Aspek yang ingin diungkap melalui wawancara dalam penelitian ini adalah dari segi psychological well-being yaitu penerimaan diri (self acceptance), kemandirian (autonomy), hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others), penguasaan lingkungan (enviromental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth).
Observasi
Selama wawancara berlangsung, peneliti juga melakukan metode tambahan yaitu metode observasi. Metode observasi dilakukan melalui pengamatan terhadap situasi dan kondisi serta perilaku yang muncul saat dilakukan wawancara pada individu yang mengalami low back pain. Selain itu metode observasi dilakukan untuk melihat bagaimana interaksi individu yang mengalami low back pain dengan orang lain baik dari bersikap, cara merespons, cara berekspresi dan kebiasan-kebiasan yang dilakukan selama wawancara berlangsung. Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi menjadi alat bantu tambahan setelah wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data apabila (a) sesuai dengan tujuan penelitian, (b) direncanakan dan dicatat secara sistematis, (c) dapat dikontrol validitas dan reliabilitasnya (Silverman, 2004). Observasi merupakan proses yang kompleks, yang tersusun dari proses biologis dan psikologis. Dalam penggunaan teknik observasi yang terpenting adalah mengandalkan pengamatan dan ingatan peneliti (Silverman, 2004).
Keuntungan dari observasi adalah (a) sebagai alat langsung yang dapat meneliti gejala, (b) observee yang selalu sibuk lebih senang diteliti melalui observasi daripada diberi angket atau mengadakan wawancara, (c) memungkinkan pencatatan serempak terhadap berbagai gejala, karena dibantu oleh observer lain atau dibantu oleh alat lainnya, (d) tidak tergantung pada self-report (Silverman, 2004).
Dalam penelitian ini akan digunakan observasi non-partisipan, dimana peneliti tidak terlibat dalam keseluruhan aktivitas yang dilakukan observee. Alasan mengapa peneliti memilih jenis observasi ini adalah keterbatasan waktu peneliti untuk ikut secara langsung dalam keseluruhan aktivitas yang dilakukan observee.

Alat Bantu Pengumpulan Data
Alat bantu yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain adalah pedoman wawancara, alat perekam dan lembar observasi.
Pedoman Wawancara
Penulis telah mempersiapkan pedoman wawancara, yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah tentang data demografik. Bagian kedua berisi tentang gambaran psychological well-being.
Alat Perekam
Alat perekam akan membantu peneliti dalam memperoleh data yang lengkap, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh subjek dalam wawancara. Alat perekam ini digunakan setelah memperoleh ijin dari subjek sebelum wawancara dimulai.
Lembar Observasi
Penggunaan lembar observasi terutama untuk mencatat setiap keadaan yang spesifik pada subjek, saat menyampaikan informasi baik secara verbal maupun non-verbal, misalnya ketika subjek menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, sering tersendat-sendat karena menahan kesedihan dan kesakitannya. Observasi juga dilakukan terhadap interaksi antara subjek dengan lingkungan sekitarnya, seperti interaksi dengan keluarga, rumah sakit, dan aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukan penderita low back pain.

Keabsahan Penelitian
Menurut Patton (dalam Moleong, 2007) empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu :
a.    Triangulasi Data
Menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memiliki sudut pandang berbeda.
b.   Triangulasi Pengamat
Adanya penagamat di luar peneliti yang turut serta memeriksa hasil pengumpulan data. dalam penelitian ini, dosen pembimbing bertindak sebagai pengamat (expert judgment) dan memiliki latar belakang sebagai psikolog kesehatan yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data.

c.    Triangulasi Teori
Pengunaan teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memenuhi syarat. Pada penelitian ini, berbagai teori telah dijelaskan pada bab II untuk dipergunakan dan menguji data yang telah terkumpul.



d.   Triangulasi Metode
Pengunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode wawancara, observasi, metode kuantitatif atau metode kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan metode wawancara yang ditunjang dengan metode observasi.
Teknik triangulasi akan menampilkan temuan yang akurat apabila dilakukan seluruhnya dengan baik. Meski demikian, Patton (dalam Poerwandari, 1998) mengingatkan bahwa triangulasi merupakan suatu konsep ideal yang kadang kala atau bahkan sekarang tidak dapat dicapai karena berbagai hambatan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan keempat teknik dalam metode triangulasi untuk mencapai keabsahan penelitian.

Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian meliputi prosedur persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian dan pencatatan data. 
Prosedur Persiapan Penelitian
Tahap Persiapan
Pertama-tama disusun pedoman wawancara untuk memperoleh data, pedoman wawancara ini disusun sesuai dengan tujuan penelitian dari teori-teori yang berhubungan dengan masalah yang ingin diperoleh, yaitu untuk mendapatkan gambaran tentang psychological well-being pada penderita low back pain.
Pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam pedoman wawancara disusun berdasarkan aspek-aspek yang ingin diketahui yaitu tentang psychological well-being pada penderita low back pain.
Persiapan Ijin Penelitian
Rencana penelitian ini akan dilakukan di rumah subjek dan di rumah sakit. Sebelum dilaksanakan peneliti menyampaikan surat permohonan ijin ke subjek yang bersangkutan. Setelah ijin diperoleh, maka peneliti mulai menyusun jadwal untuk melakukan wawancara dengan para subjek yang menderita low back pain.
Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian direncanakan dimulai dari tanggal 1 Juni 2013 sampai 30 Juni 2013. Waktu wawancara disesuaikan dengan kesediaan masing-masing subjek dan disesuaikan dengan tahapan yang telah direncanakan sebelumnya. Wawancara dilaksanakan di rumah sakit, tempat kuliah, tempat kerja dan di rumah subjek seusai melakukan aktivitas atau kegiatan serta ketika subjek melakukan konseling dan terapi baik ke psikolog maupun ke dokter. Apabila terdapat kekurangan informasi yang digali ketika wawancara, maka peneliti akan kembali menghubungi subjek  keesokan harinya. Urutan dan formulasi pertanyaan terkadang berubah, tetapi tidak menyimpang dari intinya, dan disesuaikan jika diperlukan. Observasi dilakukan bersamaan dengan proses wawancara.
Apabila informasi yang diperlukan telah cukup, maka peneliti akan menghentikan wawancara dan mengucapkan terima kasih atas semua informasi dan kerjasama yang telah diberikan oleh subjek. Setelah selesai melakukan wawancara, semua data yang telah direkam kemudian ditranskripkan secara verbatim.
Prosedur Analisis Data
Penelitian kualitatif tidak memiliki rumus standar untuk mengolah dan menganalisa data. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mngurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moelong, 2005).
Menurut Poerwandari (2005) beberapa hal yang harus dilakukan agar data yang diperoleh dapat diolah, yaitu melakukan organisasi data, koding dan analisis, kemudian melakukan interpretasi.
1.   Organisasi Data
Dengan data kualitatif yang sangat banyak dan beragam, menjadi kewajiban peneliti untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan lengkap. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasi adalah :
a.    Data mentah (catatan lapangan, hasil rekaman).
b.   Data yang sudah diproses sebagiannya (transkripsi wawancara).
c.    Data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode spesifik.
d.   Penjabaran kode-kode dan kategori-kategori secara luas melalui skema.
2.   Koding dan Analisis
Langkah pertama dalam melakukan koding, peneliti dapat membuat transkrip verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangan . Langkah kedua, peneliti dapat melakukan penomoran pada baris-baris transkrip dan langkah ketiga peneliti memberikan nama pada nomor-nomor tersebut dengan menggunakan kode-kode yang sudah ditentukan.
3.   Interpretasi
Berdasarkan pada koding yang telah dilakukan dari hasil wawancara dengan responden, peneliti melakukan interpretasi mengenai hasil wawancara.

SIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua subjek tidak mengalami masalah dalam tujuan hidup (purpose in life), perkembangan diri (personal growth) dan penerimaan diri (self acceptance). Memiliki perbedaan dalam penguasaan lingkungan (enviromental mastery), walaupun kedua subjek N dan I, sama-sama tidak bisa menguasai keadaan lingkungan  bila nyeri yang menekan datang atau kambuh namun cara mereka untuk menguasai situasi dan keadaan berbeda. Memiliki juga perbedaan dalam dimensi kemandirian (autonomy) dan hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others).
Kemudian dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan dijelaskan dalam bab sebelumnya, peneliti juga menemukan strategi-strategi penyelesaian masalah (coping) yang dilakukan oleh kedua subjek tersebut. Pada subjek pertama, pada saat situasi yang sangat tertekan ia pernah melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak baik seperti minum-minuman beralkohol dan upaya bunuh diri hal ini terjadi kurang lebih 1,5 tahun yang lalu. Sedangkan pada subjek kedua, ia lebih memilih untuk bercerita kepada keluarga dan sahabatnya bila ia mengalami situasi yang sangat tertekan untuk mengeluarkan unek-unek yang ada di dalam dirinya serta melakukan kegiatan-kegiatan positif yang bisa menangkannya seperti jalan-jalan, nonton film dan sebagainya.

DISKUSI
Individu yang mengalami nyeri kronis mengalami perubahan secara fisiologis dan psikologis. Dari segi fisiologis individu akan mengalami perubahan denyut jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, adanya tegangan pada otot-otot, keringat pada telapak tangan dan perubahan pada ukuran pupil (Purwandari, 2008). Sedangkan dalam aspek psikologis, individu memiliki pandangan yang negatif mengenai sakit, mengalami depresi, lelah, putus asa, mengalami gangguan tidur, gangguan terhadap pola makan dan imobilitas atau inaktivitas fisik seperti menarik diri dari lingkungan sosial, tidak ada harapan akan kesembuhan, mempekirakan nyeri akan berlangsung lama (Smeltzer & Bare, 2002).
Berdasarkan temuan data di lapangan yang didapatkan peneliti dari rekam medis masing-masing subjek, kedua subjek mengalami perubahan secara fisik dan psikologis seperti naik turunnya berat badan, mengalami perubahan denyut jantung ketika sedang sakit, adanya tekanan atau tegangnya otot-otot di daerah nyeri yang diakibatkan dari letak nyeri dan mobilisasi yang tidak baik pada kedua subjek. Secara psikologis kedua subjek mampu memperlihatkan ekspresi seperti sedih dan ceria, mengalami gangguan tidur beberapa hari, mengalami gangguan makan dan jarang makan ketika sakit kambuh, mengalami gangguan suasana hati atau bad mood, cepat lelah yang disebabkan dari efek terapi yang dilakukan masing-masing subjek, kedua subjek juga mengalami stress dan depresi ketika deadline tugas dan kuliah serta pekerjaan, ketika mengalami masalah dengan orang lain dan ketika sakit kambuh yang tidak bisa dikontrol. Hasil ini sesuai dengan respon fisik dan psikologis yang ditemukan oleh Purwandari (2008) dan Smeltzer dan Bare (2002) ketika individu mengalami nyeri khususnya kronis.
Dalam penelitian ini faktor-faktor nyeri juga mempengaruhi kedua subjek seperti faktor fisiologi, sosial, dan psikologis. Pada faktor fisiologi terdiri aspek usia dan kelelahan. Dari aspek usia, terdapat perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa dalam persepsi dan pengungkapan rasa nyeri (Taylor, 1997; Potter & Perry, 2009). Orang dewasa akan mengungkapkan rasa nyeri ketika sakitnya sudah berat (Potter & Perry, 2005). Hal inilah yang dialami oleh kedua subjek, mereka baru mendatangi tempat perawatan ketika nyerinya kambuh dengan intensitas parah. Selain itu, aktivitas-aktivitas yang dilakukan kedua subjek menyebabkan mereka menjadi lelah. Seperti aktivitas kuliah, olahraga, dan pekerjaan hal ini juga menyebabkan nyeri menjadi kambuh (aspek kelelahan) (Berger, 1992; Potter & Perry, 2009).
Kedua subjek memiliki perbedaan dalam faktor sosial. Faktor sosial terdiri dari aspek pengalaman dan dukungan sosial (Carrol & Seers, 1998 dalam Potter & Perry, 2009). Pengalaman kedua subjek berbeda dalam penanggulangan nyeri, hal ini dikarenakan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap penanggulangan nyeri sehingga pengalaman dalam mengatasi nyeri yang kambuh berbeda. Subjek I seorang perawat, oleh karena itu ia mengetahui bagaimana cara merawat pasien ketika sedang sakit, hal ini lah yang ia terapkan ketika ia merasakan nyerinya sedang kumat. Ketika sakit sedang kambuh subjek I akan makan-makanan yang sehat, sering melakukan stretching dan terapi sinar inframerah, mengambil 3 hari izin untuk tidak bekerja, patuh terhadap jadwal istirahat dan minum obat. Sedangkan pada subjek N ketika sakitnya sedang kambuh, ia akan istirahat dengan cara tidur, makan-makanan yang sehat dan minum obat, tidak membuka tugas-tugas deadline baik itu dari kampus maupun dari organisasi. Ketika nyerinya bisa dikontrol barulah ia akan melakukan stretching dan terapi salah satunya dengan terapi akupuntur.
Selain itu, dukungan sosial juga merupakan faktor sosial yang berperan penting dalam penanggulangan nyeri. Subjek I mendapatkan dukungan dari keluarga dan sahabat-sahabatnya seperti diingatkan untuk minum obat dan makan-makan yang sehat, diingatkan untuk beristirahat, di antar dan di temani ke tempat terapi, sehingga ia menjadi nyaman dan nyerinya berkurang (Potter & Perry, 2009). Sebaliknya subjek N tidak mendapatkan hal tersebut. Ketika sakit sedang kambuh subjek N hanya beristirahat di kamar, ia tidak pergi kemana-mana dan tidak bercerita kepada orang lain sehingga nyeri yang dirasakannya menjadi lebih berat (Mubarak & Chayatin, 2007). Barulah ketika sakitnya sudah bisa ia kontrol, ia akan bercerita ke sahabat-sahabatnya. Adanya dukungan sosial membuat, kedua subjek tidak menarik diri dari lingkungan sosial. Mereka masih bisa beraktivitas seperti biasa, karena memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, cukup mandiri dalam beraktivitas, menerima situasi dan kondisi sakit atau nyeri yang mereka derita.
Dalam penelitian ini, peneliti juga menemukan bahwa kedua subjek menggunakan strategi-strategi penyelesaian (coping) untuk menyelesaikan yang mereka alami sehubungan dengan nyeri yang mereka derita (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Coping adalah usaha individu baik secara kognitif maupun tingkah laku dalam mengelola tuntutan internal maupun eksternal yang dinilai melebihi kapasitas kemampuan individu (Lazarus & Folkamn, 1984). Lazarus dan Folkman (Taylor, 2003) membagi coping yang dilihat dari fungsinya menjadi dua bagian yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Emotion-focused coping yaitu coping yang bertujuan untuk mengontrol respon emosional dari masalah yang dihadapi. Problem-focused coping yaitu coping bertujuan untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang menekan atau memperluas sumber yang dimiliki untuk menutupi tuntutannya (Lazarus dan Folkman, 1984). Kemudian Lazarus dan Folkman (1986) membagi strategi coping menjadi dua bagian yaitu yang lebih memfokuskan pada problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused coping meliputi dimensi planful problem solving (usaha individu untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap dan analitis), confrontative coping (usaha individu untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif dan mengalami resiko), seeking social support (usaha individu untuk mendapatkan kenyamanan atau dukungan emosional dan bantuan informasi dari orang lain), accepting responsibility (usaha individu untuk menyadari tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerima untuk membuat semuanya menjadi lebih baik), escape-avoidance (usaha individu untuk mengatasi situasi yang menekan dengan cara lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum atau menggunakan obat-obatan), positive reappraisal (usaha individu untuk mencari makna positif dari permasalahan yang ada dengan fokus pada pengembangan diri dan biasanya melibatkan hal-hal yang bersifat religius). Emotion-focused coping meliputi dimensi self control (usaha individu untuk mengatur perasaan dan kontrol diri ketika menghadapi yang menekan) dan distancing (usaha individu untuk tidak terlibat dalam permasalahan seperti menghindar dari permasalahan seakan-akan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif seperti menganggap masalah sebagai lelucon).
Dari keseluruhan strategi coping tersebut, kedua subjek menggunakan strategi coping yang dominan dalam dimensi positive reappraisal dan accepting responsibility. Kedua subjek menjadi lebih berhati-hati dalam berkendaraan khususnya kendaraan bermotor, belajar untuk mengetahui situasi dan kondisi dalam menentukan pilihan baik itu dalam aktivitas maupun ketika mengambil keputusan yang akan dijalaninya (positive reappraisal). Belajar untuk bertanggung jawab dari pilihannya, bertanggung jawab atas situasi dan kondisi yang terjadi pada dirinya sendiri (accepting responsibility).

SARAN
Untuk selanjutnya, tentu masih banyak hal lain yang bisa ditambahkan dalam penelitian yang menyangkut tentang psychologicall well-being dan nyeri secara umum. Oleh sebab itu peneliti akan memberikan saran-saran sebagai berikut :
1.   Bagi peneliti selanjutnya
Disarankan agar melakukan penelitian dengan membandingkan psychological well-being pada penderita low back pain antara pria dan wanita. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mayers, Robinson, Riley dan Sheffield (2001), dimana ada perbedaan antara pria dan wanita dalam mengungkapkan rasa nyeri. Wanita lebih menunjukkan sensitifitas terhadap nyeri daripada pria (Brannon & Feist, 2007). Selain itu, respon terhadap rasa nyeri juga dipengaruhi oleh budaya baik pada pria maupun wanita (Gill, 1990). Beberapa budaya misalnya menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2005).

2.   Bagi psikolog
Bagi psikolog disarankan untuk menggunakan pendekatan konseling dan terapi yang sesuai dengan kasus nyeri kronis pada individu khususnya yang mengalami low back pain. Hal ini karena, nyeri yang disebabkan oleh low back pain memiliki aspek psikologis yang berpengaruh pada persepsi nyeri, yang selanjutnya berdampak terhadap penanggulan nyeri. 

3.   Bagi penderita low back pain
            Penderita low back pain disarankan untuk menjalin relasi sosial yang positif dengan keluarga dan teman-temannya, bersikap terbuka terhadap orang lain agar dapat memperoleh dukungan sosial dalam atau masalah yang timbul akibat low back pain. Penderita low back pain juga disarankan untuk tetap melakukan terapi baik dari segi medis maupun psikologis untuk setiap intensitas nyeri baik parah, sedang maupun ringan. Individu juga disarankan untuk membuat rancangan pengaturan waktu (time table) antara aktivitas dengan waktu istirahat sehingga nyeri mereka tidak sering kambuh. Individu juga disarankan untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif atau hobi yang disukai untuk mengurangi tekanan, sakit atau nyeri yang diakibatkan oleh low back pain

4.   Bagi keluarga
Keluarga disarankan untuk memberikan dukungan baik secara material maupun non material. Hal ini dikarenakan keterlibatan keluarga dapat mengurangi perilaku yang kurang kondusif bagi kesehatan individu seperti memberikan perhatian dengan cara mengingatkan pasien untuk minum obat dan waktu untuk beristirahat, menanyakan kondisi pasien, serta mengantar atau menemani pasien ketika berobat ke dokter maupun ke psikolog (Williamson, Walters, & Shaffer, 2002).

DAFTAR PUSTAKA
Berger, K. J. (1992). Fundamentals of nursing collaborating for optimal health. Karen. J. Berger, Marylin Brinkman Williams. Neurosensory integration. Connecticut: Appleton & Lange.
Brannon & Feist. (2007). Health psychology. USA: Thomson Wadsworth.
Brunner & Suddarth. (2001). Keperawatan medikal bedah (ed, 8). Jakarta: EGC.
Brunner & Suddart. (2003). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC. 
Caudill, S. M. A., Schwartz, L. M., & Woloshin, S. (2004). Office visits and analgesic prescriptions for musculoskeletal pain in US: 1980 vs 2000. Pain, 109, 514-519.
Cohen, R. I., Chopra. P., & Uphshur. C. (2001). Low back pain part 1 : Primary care work-up of acute and chronic symptoms. Geriatrics, 26-37.
Cresswell, J. W. (1994). Research design, qualitative and quantitative approaches. Thousand Oaks, California: Sage.
Creswell, J. W. (1998). Qualitative inquiry and research design choosing among five traditions. Thousand Oaks, California: Sage.
Deyo, R. A., & Weinstein, J. N. (2001). Low back pain. Avaiable from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/344/5/363 [Accessed 1 April 2013]
Dwiyono. (2004). Penyembuhan rasa nyeri. Jakarta
Feske, S. K., & Greenberg, S. A. (2003). Degenerative and compressive structural disorder. In : Textbook of clinical neurology (2nd ed). Philadelphia: Saunders.
Freburger, J. K. (2009). The rising prevalence of chronic low back pain. Arch Intern Medicine, 169, 251-258.
Gill, F. S. (1990). Buku saku kesehatan kerja. Jakarta: EGC.
Harahap, I. A. (2007). The relations among pain intensity, pain acceptance and pain behavior in patients with chronic cancer pain in Medan, Indonesia. Thailand: Copyright of prince of Songkla University.
Herdiansyah, H. (2009). Metode penelitian kualitatif, seni dalam memahami fenomena sosial. Yogyakarta: Greentea Publishing.
Hills, E. C. (2010). Mechanical low back pain. Avaiable from: http://emedicine.medscape.com/article/310353-overview. [Accessed 20 Maret 2013]
Keyes, C. L. M., Shmotkin, D., & Ryff, C. D. (2002). Optimizing well-being: The empirical encounter of two traditions. Journal of Personality and Social Psychology, 82, 1007– 1022. doi: 10.1037//0022-3514.82.6.1007
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Coping and adaptation, In: Ganrty, W. D., (ED). Handbook of behavior medicine. New York / London: The Gilford.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal and coping. New York: Springer Publisher Company.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1986). Stress, appraisal and coping. New York: Springer.
Lehmann J. F., DeLisa, J. A., Warren, C. G., DeLateur, B. J., Bryant, P. L., & Nicholson, C. G. (1978). Assessment of need, development, and evaluation of a model of care. Arch, Phys, Med, Rehabil, 59, 410-419.
Louw, Q. A., Morris, L. D., & Somers, K. G. (2007). The Prevalence of Low Back Pain in Africa: A Systematic Review. BMC Muskuloskeletal Disorder, 8, 105.
Luckmann & Sorensen. (1987). Medical surgical nursing. USA: WB. Saundress.
Meliala, L. (2004). Terapi rasional nyeri : Tinjauan khusus nyeri neuropatik. Jogyakarta: Aditya Media.
Moleong, L. J. (2000). Metodologi penelitian kualitatif (Cet. 13). Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Moleong, L. J. (2005). Metodologi penelitian kualitatif (Cet. 21). Bandung: PT Remaja Rodakarya Offset.
Moleong, Lexy. (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rodakarya Offset.
Morgan G. E., Michail M. S., Muray M. J. (2006). Clinical anesthesiology (4th ed). New York: Lange.
Mubarak, & Chayatin, W. N. (2007). Buku ajar kebutuhan dasar manusia : Teori dan aplikasi dalam praktek. Jakarta: EGC.
Nachemson, A. L., Waddell, G., & Norlund, A. (2000). Epidemiology of neck and low back pain. Neck and back pain : The scientific evidence of causes, diagnosis and treatment. Philadelphia. 
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2008). Human development (9th ed). Jakarta: Kencana.
Picavet, H. S. J., & Schouten, J. S. A. G. (2001). Musculoskeletal pain in the Netherlands: prevalences consequences and risk groups, the DMC3-study. Pain, 102, 167-178.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.
Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pembangunan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).
Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Poerwandari, E. K. (2009). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pembangunan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Fundamental of nursing : Concepts, process and practice. St. Lois Missiouri: Mosby Company.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik (ed, 4). Jakarta: EGC.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2009). Fundamentals of Nursing (7th ed). Phillippines: Mosby.
Price & Wilson. (2005). Patofisiology (6th ed). Jakarta: EGC.
Purwandari, A. (2008). Konsep kebidanan : Sejarah dan profesionalisme, Jakarta: EGC.
Radler, C. (2000). Phases of Adaptation and Individuals with physical disabilities.
Ryan, R. M., Edward, L., & Deci (2001). On happiness and human potentials: A review of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Review of Psychology, 52, 141-166.
Ryff, C. D. (1989). In the eye of the beholder: Views of psychological well-being among middle aged and older adults. Psychology and Aging, 4, 195-210.
Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081.
Ryff, C. D. (1989a). Beyond Ponce de Leon and life satisfaction: New directions in quest of successful aging. International Journal of Behavioral Development, 12, 35-55.
Ryff, C. D. & Keyes, C. L. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727. Doi: 0022-3514/95/$3.00.
Ryff, C. (1995), Psychological well-being in adult life. Curr. Dir. Psychol. Sci. 4,99-104.
Ryff, C., & Singer, B. (1998). The contours of positive human health. Psychol. Inq, 9, 1-28.
Ryff, D., & Singer, K. (2006). Know Thyself and Become What You Are: A Eudaimonic Approach to Psychological Well-Being. Journal of Happiness Studies, 9, 13-19. 
Silverman, D. (2004). Qualitative research, theory, method and practice. London: Sage.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah  (ed, 8). Jakarta: EGC.
Smet, B. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (2001). Handbook of positive psychology. USA: Oxford University Press, Inc.
Stewart, C. J., & Cash, W. B. (2003). Interviewing, principles and practices. New York: McGraw Hill.
Taylor, S. E. (1995). Health psychology (3rd ed). Los Angeles: McGraw-Hill, Inc.
Taylor, S. E. (1999). Health psychology (4th ed). Singapore: Mc. Graw Hill.
Taylor, S. E. (2003). Health psychology (5th ed). Los Angeles: McGraw-Hill, Inc.
Turk, D. C. & Flor, H. (2002). Chronic pain: A biobehavioral perspective. In R. J. Gatchel & Turk, D. C. (Ed.). Psychosocial Factors in Pain (pp. 18-34). New York: The Guilford Press.
Van Tulder, M., Becker, A., Bekkering, T., Breen, A., Real, M. T. G., Hutchinson, A., Koes, B., Laerum, E., & Malmivaara, A. (2006). European guidelines for the management of aute nonspecific low back pain in primary care. Europe Spine J, 15, 169-191.
Vazquez, C., Hervas, G., Rahona, J. R., & Gomez, D. (2009). Psychological well-being and health. Contributions of positive psychology. Annuary of Clinical and Health Psychology, 5, 15-27.
Wheeler, S. G., Wipft, J. E., Staiger, T. O., & Deyo, R. A. (2009). Approach to the diagnosis of low back pain in adults. Avaiable from: http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do?topicKey=~NAN/sJQ3H1Jycr. [Accessed 15 Maret 2013]
Williamson, G. M., Walters, A. S., & Shaffer, D. R. (2002). Caregiver models of self and others, coping, and depression: Predictors of depression in children with chronic pain. Health Psychology, 21, 405-410.